Berita

Hujan Mikroplastik di Jakarta: Ancaman Tak Kasat Mata dari Tumpukan Sampah TPA

Jakarta, 21 Oktober 2025 — Setiap kali hujan turun di Jakarta, kita biasanya mengeluh soal banjir atau macet yang kian parah. Tapi bayangkan jika di balik tetesan air yang sejuk itu, tersembunyi partikel beracun yang tak terlihat mata. Mikroplastik—pecahan plastik kecil yang berbahaya—kini terdeteksi dalam air hujan ibu kota. Bagi warga biasa seperti Ibu Siti, seorang ibu rumah tangga di pinggiran Bekasi yang sering mengumpulkan air hujan untuk tanaman, berita ini seperti tamparan nyata. “Saya kira hujan itu bersih, buat siram kebun. Ternyata ada racunnya?” gumamnya saat kami bertemu di pasar dekat TPST Bantargebang, sambil memandang galon air kosong di tangannya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hanif Faisol Nurofiq tak henti-hentinya menekankan urgensi masalah ini. Dalam pernyataannya di kompleks parlemen Senayan, Selasa siang, Hanif menjelaskan bahwa mikroplastik ini lahir dari kebiasaan buruk kita: membuang sampah seenaknya ke TPA yang dibiarkan terbuka. “Di Jabodetabek, sampahnya ditimbun doang di TPA. Panas matahari bikin plastik terurai jadi mikron, yang disebut mikroplastik. Lalu, angin bawa ke atas, terkondensasi di awan, dan turun lagi bareng hujan,” ujarnya dengan nada prihatin, seolah mengingatkan kita pada lingkaran setan yang tak kunjung putus.

Cerita ini bukan sekadar alarm dari menteri. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengonfirmasi temuan serupa sejak 2022. Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova, yang memimpin studi itu, menemukan mikroplastik dalam setiap sampel air hujan yang diuji di kawasan pesisir Jakarta. Rata-rata, ada sekitar 15 partikel per meter persegi setiap hari. “Ini cerminan perilaku manusia kita. Populasi 10 juta jiwa, 20 juta kendaraan—semua hasilkan limbah plastik yang akhirnya naik ke atmosfer,” katanya dalam rilis BRIN baru-baru ini. Mikroplastik ini tak hanya dari TPA; gesekan ban mobil, serat pakaian sintetis, hingga pembakaran sampah liar ikut berkontribusi. Ringan dan halus, partikel ukuran kurang dari 5 milimeter ini mudah terbang, bercampur debu, lalu jatuh kembali lewat hujan.

Bagi masyarakat seperti Bapak Joko, seorang sopir ojek online di Tanah Abang, isu ini terasa dekat sekali. “Saya tiap hari kehujanan, minum air dari termos yang diisi hujan kalau lupa bawa. Kalau ada mikroplastik, gimana nasib kesehatan saya dan keluarga?” tanyanya, sambil mengusap keringat di dahinya setelah shift pagi. Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Prof Etty Riani, Guru Besar IPB University dari Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, memperingatkan bahwa mikroplastik bisa menyerap polutan lain, seperti logam berat, dan masuk ke rantai makanan. “Bisa ganggu hormon, tingkatkan risiko kanker, bahkan ditemukan di darah dan otak manusia,” ujarnya dalam keterangan resminya. Studi global, termasuk dari BBC tahun ini, menemukan kadar mikroplastik di otak orang dengan demensia hingga 10 kali lebih tinggi.

Yang lebih menyedihkan, air hujan yang tercemar ini berakhir di sungai, danau, hingga laut. Di Jakarta, dengan banjir musiman, polusi ini meresap ke tanah dan air tanah yang kita pakai sehari-hari. Gubernur DKI Pramono Anung pun tak tinggal diam. Ia berjanji memperkuat pengendalian sampah plastik dari hulu ke hilir, termasuk integrasi data lingkungan melalui Jakarta Environmental Data Integration (JEDI). “Kita koordinasi dengan BRIN untuk pantau mikroplastik di udara dan hujan. Ini bukan cuma urusan pemerintah, tapi tanggung jawab kita semua,” katanya saat ditanya CNBC Indonesia.

Hanif, dari KLHK, menyoroti TPST Bantargebang sebagai contoh nyata masalahnya. TPA terbesar di Asia Tenggara ini menampung puluhan juta ton sampah per tahun, tapi pengolahannya masih bergantung pada metode dumping sederhana. “Sampah plastik tak segera ditangani, terurai di bawah panas dan hujan, lalu jadi mikroplastik yang beterbangan,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa pencemaran di air tak kalah bahaya, karena limbah ini meresap ke sungai Citarum hingga laut Jawa, mengancam nelayan dan petani di sekitarnya.

Solusi yang Hanif tawarkan adalah pengolahan sampah jadi energi—atau Waste to Energy (WTE). “Jangka panjang, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Jakarta jadi target PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Ini bukan cuma kurangi tumpukan, tapi hasilkan listrik ramah lingkungan,” tegasnya. Pemerintah Prabowo baru saja menerbitkan Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang pengolahan sampah perkotaan jadi energi terbarukan. Rencana ambisius: bangun WTE di 33 kota, dengan target 453 MW listrik dari sampah, butuh investasi Rp91 triliun. Sovereign wealth fund Danantara siap luncurkan delapan proyek akhir Oktober ini, mulai dari Jakarta dengan 4-5 lokasi.

Tapi, bagi rakyat kecil, WTE ini harus lebih dari proyek megah. Di Bantargebang, ribuan pekerja seperti Mbak Sari, 35 tahun, yang tiap hari angkut sampah, berharap program ini ciptakan lapangan kerja layak. “Kami capek angkat-angkat, napas sesak karena bau. Kalau jadi energi, setidaknya sampah berkurang, dan kami dapat skill baru,” katanya sambil istirahat di bawah pohon rindang dekat timbunan. Pakar seperti Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform mendesak percepatan WTE untuk atasi “darurat sampah” yang kini ancam kesehatan masyarakat sekitar TPA.

Upaya lain yang lebih dekat dengan keseharian adalah edukasi. Di sekolah-sekolah pinggiran Jakarta, seperti SD Negeri di Cakung, guru mulai ajarkan anak-anak pisahkan sampah plastik dari organik. “Anak-anak ini masa depan. Kalau mereka paham, nanti giliran mereka yang tak biarkan hujan bawa racun,” kata Bu Rina, seorang guru kelas 5. Kampanye seperti “No Plastic in Rain” dari komunitas lingkungan juga ramai di media sosial, dorong warga bawa tumbler dan tas belanja kain.

Hanif menutup pernyataannya dengan nada tegas: “Jangan debat lagi soal ada atau tidaknya mikroplastik. Yang penting, atasi sampah sekarang juga.” Bagi Ibu Siti dan ribuan warga lain, pesan ini seperti panggilan untuk berubah. Mulai dari hal kecil: kurangi plastik sekali pakai, dukung daur ulang, dan tekan pemerintah agar WTE tak lagi janji kosong. Karena hujan besok tak boleh lagi jadi pembawa berita buruk—ia harus kembali jadi berkah bagi tanah kering dan hati yang lelah.

Related Keywords: mikroplastik hujan, sampah TPA Bantargebang, waste to energy Indonesia, polusi plastik Jakarta, BRIN mikroplastik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *