Ekonomiglobal

China Bela Proyek Whoosh: “Bukan Cuma Angka, Tapi Manfaat untuk Rakyat”

Jakarta, 23 Oktober 2025 — Di tengah hiruk-pikuk perdebatan soal utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh, suara dari Beijing datang seperti angin segar—atau mungkin tekanan halus. Kementerian Luar Negeri China angkat bicara, menegaskan bahwa proyek ikonik ini bukan beban, melainkan berkah yang terus memberi manfaat bagi rakyat Indonesia. Bagi warga seperti Pak Budi, sopir ojek online di Halim yang sering antar penumpang ke stasiun Whoosh, berita ini seperti napas lega. “Saya lihat orang makin ramai naik kereta itu. Kalau bisa lanjut, ya bagus lah, kerjaan saya juga nambah,” katanya sambil menyeka keringat di siang yang terik, sambil menunggu pelanggan di pinggir jalan dekat Stasiun Halim.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, merespons laporan media tentang negosiasi restrukturisasi utang dengan nada optimis. “Sudah dua tahun sejak kereta cepat Jakarta-Bandung secara resmi beroperasi. Selama dua tahun terakhir, kereta api telah mempertahankan operasi yang aman, tidak terhambat, dan tertib,” ujar Guo dalam konferensi pers rutin pada Senin (20/10). Ia menyoroti angka yang membanggakan: lebih dari 11,71 juta penumpang telah dilayani, dengan tren yang terus naik. “Manfaat ekonomi dan sosialnya terus dilepaskan, menciptakan sejumlah besar lapangan kerja bagi masyarakat lokal dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sepanjang jalur. Ini telah diakui dan disambut baik oleh berbagai sektor di Indonesia,” tambahnya, seolah mengingatkan bahwa proyek ini lebih dari sekadar angka di neraca keuangan.

Bagi Guo, penilaian Whoosh tak boleh hanya dilihat dari lensa finansial semata. “Tidak boleh hanya berdasarkan angka-angka keuangan, tapi juga manfaat publik dan hasil komprehensifnya,” tegasnya. China siap bekerja sama lebih lanjut, termasuk memperpanjang operasi berkualitas tinggi untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia, serta konektivitas kawasan. Pernyataan ini datang pas saat Indonesia bergulat dengan beban utang proyek yang mencapai US$ 7,26 miliar (sekitar Rp 119,79 triliun), di mana 75% dibiayai pinjaman dari China Development Bank (CDB). Tanpa subsidi APBN, proyek ini dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), konsorsium BUMN dan perusahaan China.

Di Indonesia, polemik ini seperti bola panas yang dilempar dari era Jokowi ke Prabowo. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tegas menolak penggunaan APBN untuk menutup celah. “Utang Kereta Cepat adalah urusan BUMN, bukan APBN,” ulangnya berulang kali, meyakini bahwa dividen BUMN seperti PT KAI sudah cukup untuk angsuran tahunan. EBITDA KCIC yang positif jadi pegangan, tapi kritik tetap mengalir: proyek ini terlambat, biaya membengkak, dan penumpang belum capai target awal 16 juta per tahun. Hingga Juni 2025, angka kumulatif baru 2,9 juta, meski lonjakan di libur Lebaran mencapai 250 ribu penumpang dalam empat hari, dengan puncak 21 ribu per hari. Di Mei 2025, rekor harian 25.316 penumpang tercatat saat libur Waisak, dan hingga Juli, total 10,7 juta penumpang—bukti bahwa Whoosh mulai diterima sebagai pilihan modern.

Desakan restrukturisasi datang dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, yang sudah koordinasi langsung dengan China. “Kita sepakat restrukturisasi utang hingga 60 tahun,” ungkap Luhut pada 20 Oktober, menambahkan bahwa ini akan tekan beban tahunan jadi Rp 2 triliun, sementara pendapatan operasional Rp 1,5 triliun. China setuju, tapi tunggu Keppres Prabowo untuk bentuk tim khusus—termasuk Luhut dan COO Danantara Dony Oskaria—untuk negosiasi detail. Di balik itu, ada iming-iming: China siap lanjutkan proyek ke Surabaya, asal restrukturisasi selesai cepat. “Mereka bilang, ‘Kita mau lanjut ke Surabaya kalau ini diselesaikan segera’,” cerita Luhut, mengingatkan bahwa proyek ini bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) yang kuasai 75% pinjaman infrastruktur Indonesia.

Bagi rakyat seperti Ibu Sari, pedagang makanan di Stasiun Tegalluar, Whoosh bukan angka di kertas. “Dulu perjalanan ke Jakarta makan waktu 3 jam, sekarang 40 menit. Anak saya kuliah di sana, sekarang bisa pulang lebih sering,” ceritanya sambil menyajikan soto untuk penumpang yang baru tiba. Proyek ini ciptakan ribuan lapangan kerja di sepanjang rute—dari konstruksi hingga pariwisata—dan kurangi kemacetan di jalur tol yang sering bikin orang frustrasi. Penumpang harian rata-rata 16-18 ribu di hari kerja, naik jadi 18-21 ribu di akhir pekan, dengan rekor 26.770 pada Juni 2025. Lonjakan 20% saat Lebaran 2025, dengan 240 ribu penumpang dalam empat hari, tunjukkan Whoosh sudah jadi bagian gaya hidup urban.

Tapi, di balik manfaat, ada cerita pilu. Di Karawang, warga relokasi seperti Pak Joko kehilangan lahan sawah untuk proyek ini. “Kami dapat kompensasi, tapi harga beras naik, dan kerjaan baru susah,” keluhnya, mewakili ribuan keluarga yang terdampak. Kritik dari ekonom seperti Bhima Yudhistira dari Celios: restrukturisasi 60 tahun bisa lunas 2085, tapi suku bunga tetap tinggi, dan ketergantungan pada China makin dalam. Wijayanto Samirin dari Universitas Paramadina tambah, “Ini bukan solusi, tapi tambal sulam. Dividen BUMN tak cukup tutup gap, dan APBN pasti terseret nanti.”

Proyek ini lahir dari ambisi Jokowi untuk modernisasi, tapi kini jadi ujian Prabowo. Biaya awal US$ 5,5 miliar membengkak jadi US$ 7,3 miliar karena pandemi dan kenaikan tanah, dengan Indonesia tanggung 60% ekuitas. Tiket Rp 250-350 ribu tanpa subsidi, tapi promosi seperti diskon 50% di KAI Expo 2025 bikin ramai. China, lewat Guo, ingatkan: ini investasi jangka panjang. “Kami siap fasilitasi operasi berkualitas, dorong konektivitas kawasan.”

Bagi rakyat biasa, Whoosh adalah harapan mobilitas murah dan cepat. Di Stasiun Padalarang, anak muda seperti Rina, mahasiswa ITB, sering naik Whoosh ke Jakarta. “Lebih nyaman dari bus, dan ramah lingkungan. Kalau utangnya bisa diatur, lanjut aja ke Surabaya!” serunya antusias. Tapi di balik senyumnya, ada kekhawatiran: apakah proyek ini akan jadi beban generasi mendatang? Luhut yakin, dengan tim khusus dan Keppres Prabowo, solusi ada. China setuju, tapi ingatkan: ini soal kemitraan, bukan utang semata.

Polemik ini ajarkan kita: infrastruktur besar seperti Whoosh bukan cuma rel dan kereta, tapi cerita manusia—dari pekerja di Tegalluar hingga nelayan di Karawang. Di tengah tekanan ekonomi, manfaat sosialnya tak tergantikan: kurangi emisi, ciptakan kerja, hubungkan kota. Seperti kata Guo, bukan angka, tapi dampaknya yang hitung. Bagi Ibu Sari dan ribuan warga lain, Whoosh sudah jadi bagian hari-hari mereka—semoga restrukturisasi tak jadi akhir cerita, tapi bab baru kemajuan bersama.

📌 Sumber: CNBC Indonesia, Antara News, Liputan6, KCIC.co.id, Tempo.co, Detik.com, dan laporan terkait, diolah kembali oleh tim tentangrakyat.id.

baca juga sejarah Indonesia yang menarik di sejarahindonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *