Pengetahuan UmumPolitik

Wacanakan Gelar “Bapak Republik Indonesia” untuk Tan Malaka — Sejarah, Kontroversi, dan Pemikiran di Baliknya

JAKARTA — Baru-baru ini, wacana untuk secara resmi mengakui Tan Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia” muncul kembali ke permukaan publik. Proposal ini hadir setelah sejumlah sejarawan dan kalangan akademis menyoroti peran krusial Tan Malaka dalam merumuskan ide dan konsep republik jauh sebelum kemerdekaan. Artikel di Historia.id tertanggal 25 November 2025 mengulas bahwa Tan Malaka sudah menulis risalah berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925 — jauh sebelum proklamasi — dan menuangkan gagasan negara merdeka serta republik.

Meski demikian, sampai saat ini negara belum meresmikan gelar “Bapak Republik Indonesia” secara institusional untuk Tan Malaka. Usulan formal ini memantik diskusi sejarah, politik, dan identitas nasional.


Siapa Tan Malaka? Biografi Singkat dan Jejak Pemikiran

  • Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat. Nama aslinya adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.
  • Dari masa muda, Tan Malaka menunjukkan semangat belajar kuat; ia sempat menempuh pendidikan guru di Bukittinggi, lalu melanjutkan ke Belanda. Di sana, ia mulai mengenal gagasan revolusi, nasionalisme, dan keadilan sosial.
  • Saat di luar negeri, ia menjadi bagian dari gerakan mahasiswa dan pergerakan anti-kolonialisme. Ia kemudian aktif menulis, berdebat, dan menyuarakan kemerdekaan Indonesia dari luar Hindia Belanda.

Perjalanan Tan Malaka menunjukkan bahwa ia bukan sekadar aktivis lokal — tapi pemikir konseptual yang melihat Indonesia sebagai republik bahkan jauh sebelum ide tersebut populer di kalangan elite nasional.


“Naar de Republiek Indonesia” — Manifesto dan Gagasan Republik

Khalayak sejarah menyoroti bahwa Tan Malaka adalah orang pertama yang secara tertulis memikirkan bentuk negara bernama “Republik Indonesia.” Risalah Naar de Republiek Indonesia, ditulis ketika ia berada di pengasingan (sekitar 1925), telah memaparkan visi negara merdeka, demokrasi, dan kebebasan dari kolonialisme.

Menurut sejarawan yang dikutip dalam edisi Historia.id, risalah ini tidak hanya berisi slogan kemerdekaan tetapi juga analisa komprehensif: kondisi kolonialisme, struktur sosial-ekonomi, dan strategi perjuangan. Oleh sebab itu, para pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir dipandang sebagian mendapatkan inspirasi dari gagasan-gagasan Tan Malaka.

Dengan demikian, banyak kalangan berargumen bahwa Tan Malaka sudah meletakkan dasar konseptual Republik jauh sebelum lahirnya negara merdeka, sehingga pantas disebut “pendiri dalam gagasan” — bukan hanya “fakta kemerdekaan.”


Perjalanan Politik, Perjuangan, dan Kontroversi

Tan Malaka bukan hanya pemikir — tapi juga aktivis revolusioner dengan mobilitas internasional tinggi. Sepanjang periode antara 1925 hingga 1945, ia berpindah-pindah negara: dari Belanda, Jerman, Rusia, hingga beberapa negara Asia.

Setelah kembali ke Indonesia menjelang akhir masa penjajahan, Tan Malaka aktif dalam membangun gerakan perjuangan, menyuarakan kemerdekaan, dan mengorganisir rakyat. Namun, perbedaan ideologi dan strategi dengan kelompok lain menyebabkan ia kemudian dianggap kontroversial.

Nasibnya tragis: pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati di Selopanggung, Kediri — sebuah peristiwa memilukan di tengah pergulatan revolusi.

Karena statusnya yang sensitif (terkait ideologi kiri, komunisme, dan konflik dalam negeri), nama Tan Malaka sempat banyak dilupakan dalam narasi sejarah nasional, terutama pada masa Orde Baru.


Mengapa Usulan Gelar “Bapak Republik” Muncul?

Alasan mendasar munculnya wacana ini:

  • Gagasan Awal Republik: Tan Malaka mendahului banyak tokoh nasional lain dengan menuliskan gagasan negara republik dalam risalah 1925 — jauh sebelum proklamasi.
  • Warisan Pemikiran dan Inspirasi: Risalah dan karya-karyanya memberikan landasan ideologis dan semangat perjuangan kepada generasi perintis kemerdekaan serta tokoh-tokoh berikutnya.
  • Salah Satu Pendiri yang Terpinggirkan: Meski kontribusinya besar, Tan Malaka kemudian tersisih dari narasi resmi sejarah akibat pergolakan politik serta stigma ideologi masa lalu. Wacana ini ingin mengembalikan tempat semestinya dalam sejarah nasional.
  • Penting bagi Identitas dan Rekonsiliasi Sejarah: Pengakuan resmi bisa membantu generasi sekarang memahami kompleksitas perjuangan kemerdekaan dan menghargai pluralitas perjuangan — bahwa kemerdekaan bukan hanya milik segelintir nama besar.

Sebagaimana dikatakan sejarawan dalam diskusi “100 Tahun Naar de Republiek Indonesia”, Tan Malaka dianggap sebagai “penggagas konsep Republik Indonesia”, dan tak mengherankan jika nama-nama besar seperti Sukarno terinspirasi darinya.


Tantangan dan Kritik terhadap Upaya Rehabilitasi Nama Tan Malaka

Namun, pengakuan ini tidak datang tanpa kontroversi:

  • Ideologi dan afiliasi politik Tan Malaka (kiri, komunisme) membuat sebagian orang tetap mempertanyakan relevansi dan “keselamatan sejarah” jika digelari sebagai Bapak Republik. Hal ini mempengaruhi pengakuan resmi terhadapnya selama puluhan tahun.
  • Banyak generasi muda tidak mengenal kisah lengkapnya — baik karena pelajaran sejarah yang minim maupun narasi sejarah yang “terkurangi”. Usulan ini harus diiringi dengan edukasi ulang dan dokumentasi yang kredibel.
  • Ada kekhawatiran bahwa pengakuan formal bisa memunculkan polaritas baru dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan interpretasi ideologi dan identitas nasional.

Dampak Bila Gelar “Bapak Republik” Diresmikan

Jika negara memutuskan untuk memberi gelar resmi kepada Tan Malaka, beberapa dampak potensial antara lain:

  • Rehabilitasi Sejarah dan Identitas Nasional: Sejarah perjuangan kemerdekaan menjadi lebih inklusif, tidak hanya terfokus pada segelintir nama. Hal ini memberi ruang bagi generasi sekarang untuk memahami bahwa kemerdekaan lahir dari berbagai ide, perjuangan, dan pemikiran.
  • Perdebatan Akademis dan Publik: Akan muncul diskusi ulang tentang peran tiap tokoh, bagaimana sejarah ditulis, dan siapa “founding fathers” yang sebenarnya. Ini bisa memperkaya pemahaman sejarah sekaligus membuka dialog kritis.
  • Upaya Rekonsiliasi Sejarah: Bagi keluarga, komunitas, dan kelompok yang melihat Tan Malaka sebagai perjuangannya, pengakuan resmi bisa menjadi bentuk penghormatan dan penegasan bahwa kontribusi mereka tak dilupakan.
  • Pendidikan dan Generasi Muda: Narasi sejarah di sekolah, universitas, dan media bisa lebih beragam — mengenalkan figur seperti Tan Malaka dan ide perjuangan yang lebih luas.

Kesimpulan

Proposal untuk mengakui Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia bukan sekadar soal gelar semata — tetapi ajakan untuk melihat sejarah dengan lensa yang lebih luas dan adil. Tan Malaka adalah sosok yang sejak 1925 sudah memikirkan republik, menulis risalah visioner, dan rela berjuang serta mengorbankan diri demi kemerdekaan.

Meski hidupnya penuh kontroversi dan akhirnya tragis, jasa dan gagasannya tidak dapat diabaikan. Mengakui Tan Malaka secara resmi bisa memperkaya sejarah nasional dan memberi ruang bagi generasi masa kini untuk memahami bahwa kemerdekaan bukan hasil dari satu ideologi atau satu individu — melainkan hasil konsensus, ide, perjuangan banyak pihak, termasuk mereka yang “terlupakan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *