Tanggapi Pernyataan Menkeu Purbaya soal Keuangan Jabar, Dedi Mulyadi Mendatangi BPK
Bandung — Dedi Mulyadi mengambil langkah tegas dengan mendatangi kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk meminta audit menyeluruh terhadap keuangan Provinsi Jawa Barat. Sebagai respon langsung atas pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut bahwa sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat, memiliki dana yang “mengendap” di bank—klaim yang memicu polemik di tengah publik.
Kronologi Permasalahan
Isu bermula ketika Purbaya dalam beberapa kesempatan menyampaikan data bahwa belasan pemerintah daerah menyimpan dana cukup besar di bank, yang menurutnya menunjukkan lambannya realisasi belanja daerah. Jawa Barat disebut masuk dalam daftar 15 daerah tersebut.
Merespon tudingan tersebut, Dedi Mulyadi menyatakan bahwa pihaknya “tidak pernah menyimpan dana dalam bentuk deposito” seperti yang disebutkan. Ia lalu menantang Purbaya untuk membuka data lengkap dan menjelaskan metodologi penghitungan dana mengendap yang diklaim.
Tak lama setelah itu, Dedi mendatangi BPK Perwakilan Jawa Barat untuk meminta audit “kas secara menyeluruh”, guna memperjelas posisi keuangan provinsi dan menepis tuduhan tersebut.
Pernyataan Purbaya dan Bantahan Dedi
Purbaya menegaskan bahwa data berasal dari sistem perbankan nasional dan pengolahan Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Ia menyebut bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki posisi dana mengendap yang cukup signifikan dalam laporan antardaerah.
Sementara itu, Dedi menyebut bahwa klaim tersebut bisa menimbulkan persepsi negatif dan “tidak adil” bagi daerah yang memang tengah mempercepat belanja publik. “Kalau memang ada data yang jelas, silakan buka semuanya,” ujar Dedi dalam keterangannya.
Keduanya kemudian mengajak pihak terkait untuk transparan: Purbaya tetap pada data kementerian, sedangkan Dedi mengajak audit independen lewat BPK agar publik mendapat gambaran yang akurat.
Apa yang Diminta Dedi di BPK?
- Dalam kunjungannya, Dedi Mulyadi menyampaikan beberapa poin permintaan audit yang diajukan ke BPK:
- Pemeriksaan detail atas posisi kas dan simpanan daerah per akhir tahun anggaran terakhir.
- Audit aliran dana APBD agar terlihat apakah terjadi penundaan belanja yang signifikan atau penumpukan dana.
- Pemeriksaan atas realisasi belanja modal, operasional dan pembayaran pihak ketiga untuk memastikan bahwa dana tidak hanya menumpuk tetapi juga digunakan secara produktif.
Kasus ini memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar polemik antara pusat dan daerah:
Transparansi keuangan daerah semakin menjadi sorotan publik dan pemerintah pusat. Jika klaim dana mengendap terbukti, hal ini bisa menimbulkan kritik terhadap efektivitas pengelolaan anggaran di daerah.
Percepatan belanja daerah menjadi agenda penting, karena penumpukan dana yang tidak direalisasi bisa menahan pertumbuhan ekonomi lokal. Purbaya sendiri sebelumnya mendorong agar daerah mempercepat realisasi belanja.
Audit dan tata kelola keuangan daerah harus diperkuat—dengan audit rutin, sistem monitoring yang baik, dan pelaporan yang terbuka kepada publik.
Hubungan pusat-daerah mengalami tekanan: tudingan dari pusat terhadap daerah bisa menimbulkan resistensi atau konfrontasi, yang jika tidak dikelola dengan baik bisa mengganggu sinergi kebijakan.
Risiko dan Tantangan yang Muncul
- Beberapa isu yang harus diwaspadai dari dinamika ini:
- Bila audit menunjukkan bahwa memang terdapat dana mengendap besar, maka reputasi daerah, termasuk Jawa Barat, akan terpengaruh — dan kemungkinan akan muncul rekomendasi pengalihan kebijakan atau evaluasi terhadap pengelola anggaran.
- Banyaknya data yang kurang terbuka dalam pengelolaan keuangan daerah menyulitkan verifikasi publik. Ketiadaan transparansi bisa memperparah persepsi bahwa belanja publik tidak berjalan sesuai harapan.
- Efek terhadap anggaran belanja: tanggapan terhadap tudingan bisa memicu percepatan belanja yang tidak terencana hanya demi “menunjukkan angka”, yang justru bisa menimbulkan pemborosan.
Hubungan politik dan keuangan daerah ikut terpengaruh—kontroversi seperti ini bisa digunakan oleh pihak-pihak politik untuk mengkritik atau menekan pemda.
Perspektif Ahli dan Media
Beberapa analis fiskal menyatakan bahwa kejadian ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat sistem monitoring keuangan daerah, bukan sekadar “siapa benar siapa salah”.
Seorang pengamat menyebut bahwa “uji kredibilitas pemerintah daerah akan terlihat dari seberapa cepat mereka merealisasikan belanja dan menutup penyimpangan dalam laporan kas.”
Media massa juga menyoroti pentingnya audit pihak ketiga sebagai instrumen legitimasinya—karena publik kini semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik.
Langkah Kedepan yang Dianjurkan
Untuk meredam konflik dan memperkuat tata kelola, beberapa langkah strategis diperlukan:
Pemda harus mengoptimalkan belanja operasional dan pembangunan, tanpa menunda-nunda.
BPK harus memperkuat audit kas dan simpanan daerah, mempublikasikan hasilnya secara ringkas agar publik bisa memantau kondisi keuangan daerah.
Pemda harus meningkatkan kelicinan komunikasi: menjelaskan kepada publik dan pemangku kepentingan apabila terdapat penundaan belanja atau pendanaan proyek—agar tidak menimbulkan spekulasi negatif.
Kesimpulan
Kunjungan Dedi Mulyadi ke BPK dan tanggapan terhadap pernyataan Menkeu Purbaya menunjukkan bahwa isu keuangan daerah bukan hanya persoalan teknik administratif, melainkan soal kredibilitas dan kepercayaan publik.

