BeritaEkonomi

Fenomena Paylater di Indonesia: Solusi Finansial atau Bom Waktu?

Dalam beberapa tahun terakhir, fitur Paylater menjelma menjadi primadona baru di dunia keuangan digital Indonesia. Hampir semua platform e-commerce, transportasi online, hingga layanan hiburan kini menyediakan opsi “beli sekarang, bayar belakangan”.

Bagi banyak orang, Paylater terasa seperti solusi instan: mudah diakses, tanpa ribet, dan memberi ruang napas di tengah biaya hidup yang makin tinggi. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang khawatir layanan ini justru menjerumuskan pengguna pada utang konsumtif yang sulit dikendalikan.

Lantas, apakah Paylater benar-benar solusi finansial? Atau justru bom waktu yang siap meledak?


Mengapa Paylater Begitu Populer?

Ada beberapa alasan mengapa Paylater begitu cepat diterima masyarakat Indonesia:

  • Akses Mudah: Daftar cukup lewat aplikasi tanpa harus ke bank.
  • Cocok untuk Kebutuhan Mendesak: Dari belanja online, pesan makanan, hingga beli tiket pesawat.
  • Generasi Muda Melek Digital: Gen Z dan milenial lebih nyaman mengandalkan aplikasi ketimbang kartu kredit.

Menurut data Bank Indonesia, jumlah transaksi Paylater meningkat signifikan setiap tahun, bahkan tembus triliunan rupiah.


Manfaat Nyata Paylater

Tidak bisa dipungkiri, Paylater punya manfaat jika digunakan bijak:

  • Memberi fleksibilitas pembayaran bagi masyarakat.
  • Membantu cashflow saat gajian belum turun.
  • Menjadi alternatif bagi yang tidak punya kartu kredit.

Seorang pengguna Paylater, Dina (27), mengaku terbantu:

“Kadang tanggal tua masih banyak kebutuhan. Paylater bikin lebih tenang, asal bayar tepat waktu.”


Sisi Gelap Paylater

Namun, di balik manfaatnya, ada risiko besar yang sering diabaikan:

  1. Bunga dan Biaya Tersembunyi
    Beberapa layanan menerapkan bunga atau biaya admin yang cukup tinggi. Jika menumpuk, beban utang bisa membengkak.
  2. Perilaku Konsumtif
    Karena terasa mudah, banyak orang akhirnya membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
  3. Risiko Gagal Bayar
    Tidak sedikit kasus pengguna terjerat debt collector karena gagal membayar cicilan Paylater.

Paylater dan Generasi Muda

Fenomena ini sangat erat dengan gaya hidup Gen Z dan milenial. Banyak dari mereka yang menganggap Paylater sebagai bagian dari kebebasan finansial. Namun, sebagian pakar menilai, kebiasaan ini bisa mengikis budaya menabung dan menimbulkan jebakan utang konsumtif.

Psikolog finansial bahkan menyebut Paylater bisa memicu rasa aman semu. Saat belanja terasa “tidak keluar uang”, padahal utang menumpuk di belakang layar.


Paylater: Solusi atau Bom Waktu?

Jawabannya bergantung pada cara penggunaan. Jika dipakai bijak untuk kebutuhan penting dan bayar tepat waktu, Paylater bisa jadi solusi finansial praktis.

Namun jika digunakan tanpa kontrol, layanan ini bisa jadi bom waktu yang merusak kesehatan finansial pribadi.

“Paylater itu seperti pisau. Bisa berguna, tapi bisa melukai kalau salah pakai,” kata seorang pakar keuangan dari UI.


Internal Link: Ekonomi & Gaya Hidup Finansial

Simak ulasan tren finansial dan gaya hidup lainnya hanya di tentangrakyat.id.


Penutup

Fenomena Paylater di Indonesia mencerminkan perubahan perilaku keuangan masyarakat modern. Ia hadir sebagai jawaban atas kebutuhan fleksibilitas, tapi juga menyimpan risiko laten.

Pertanyaannya, apakah kita siap menjadi pengguna bijak? Atau justru terjebak dalam siklus konsumsi tanpa henti?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *