Beritaglobal

Harapan Baru dari Kairo dan Berlin

TentangRakyat.id — Setelah berbulan-bulan perang dan kehancuran di Jalur Gaza, secercah harapan mulai muncul.
Pemerintah Jerman dan Mesir mengumumkan rencana bersama untuk menggelar Konferensi Rekonstruksi Gaza, sebuah pertemuan internasional yang bertujuan membangun kembali wilayah Palestina yang luluh lantak akibat konflik.

Konferensi ini direncanakan berlangsung di Kairo pada akhir November 2025, dengan dukungan dari PBB, Uni Eropa, dan Bank Dunia.
Tujuannya bukan hanya menghimpun dana bantuan, tetapi juga menyusun rencana jangka panjang untuk pembangunan kembali rumah, sekolah, dan rumah sakit di Gaza.

“Masyarakat Gaza telah kehilangan segalanya — tempat tinggal, air bersih, bahkan harapan. Dunia memiliki kewajiban moral untuk membantu mereka bangkit,” kata Heiko Maas, Menteri Luar Negeri Jerman, dalam pernyataan bersama dengan mitranya dari Mesir, Sameh Shoukry, dikutip dari RRI.co.id.


Gaza Setelah Serangan: Kota yang Jadi Reruntuhan

Data UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) menunjukkan lebih dari 70 persen infrastruktur Gaza rusak berat sejak pecahnya serangan militer besar pada akhir 2023.
Jalan-jalan hancur, sekolah berubah menjadi tempat pengungsian, dan sebagian besar fasilitas kesehatan tidak berfungsi karena kekurangan listrik dan bahan bakar.

Lebih dari 2 juta warga Palestina kini hidup dalam kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan.
Banyak di antara mereka kehilangan keluarga, rumah, dan pekerjaan.
Krisis air bersih dan pangan juga semakin parah, membuat bantuan internasional menjadi urat nadi kehidupan sehari-hari.

“Gaza kini bukan lagi kota, tapi puing-puing kehidupan,” kata Philippe Lazzarini, Kepala UNRWA.
“Rekonstruksi bukan sekadar membangun gedung, tapi membangun kembali martabat manusia.”


Peran Strategis Jerman dan Mesir

Dua negara ini punya posisi penting dalam diplomasi Timur Tengah.
Mesir, yang berbatasan langsung dengan Gaza, selama ini menjadi mediator utama antara Israel dan kelompok Hamas.
Sementara Jerman dikenal sebagai salah satu pendonor terbesar untuk program bantuan kemanusiaan Palestina di Eropa.

Melalui konferensi ini, kedua negara berupaya mengarahkan fokus dunia internasional dari konflik menuju rekonstruksi.
Rencananya, pertemuan akan mengundang lebih dari 40 negara dan lembaga donor, termasuk Amerika Serikat, Qatar, Arab Saudi, dan Jepang.

“Kita tidak bisa berbicara tentang perdamaian tanpa keadilan ekonomi,” ujar Menteri Luar Negeri Mesir.
“Warga Gaza harus merasakan bahwa dunia masih peduli.”


Dana Raksasa dan Tantangan Politik

Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza mencapai lebih dari 12 miliar dolar AS untuk tahap awal.
Namun, pengumpulan dana bukan masalah utama — yang lebih sulit adalah memastikan bantuan benar-benar sampai ke warga, bukan terhambat oleh blokade atau kepentingan politik.

Negosiasi dengan pemerintah Israel masih berjalan alot.
Tel Aviv mensyaratkan agar semua proyek rekonstruksi berada di bawah pengawasan keamanan yang ketat, untuk mencegah penyalahgunaan material bangunan untuk kepentingan militer.

Sementara itu, kelompok sipil Palestina menilai langkah ini perlu dikawal transparansi.

“Kami bersyukur dunia membantu, tapi jangan sampai Gaza dibangun ulang tanpa warga Gaza diikutsertakan,” ujar Layla Nassar, aktivis perempuan dari Rafah.


Suara dari Warga Gaza

Di tengah puing-puing rumah, harapan tetap hidup.
Warga seperti Ahmed Al-Saidi, guru sekolah dasar di Gaza City, mengatakan bahwa konferensi ini bisa menjadi “titik balik” jika benar-benar dijalankan dengan niat tulus.

“Kami tidak butuh belas kasihan, kami butuh kesempatan,” katanya lewat sambungan video kepada wartawan internasional.
“Anak-anak kami ingin sekolah lagi, bukan hanya bertahan hidup.”

Banyak warga berharap konferensi nanti tak berhenti di janji bantuan, tetapi membawa perubahan nyata: listrik yang menyala, air yang mengalir, dan rumah yang bisa ditinggali kembali.


Momentum bagi Dunia

Bagi banyak pihak, konferensi ini akan menjadi ujian bagi solidaritas global.
Apakah dunia masih peduli pada kemanusiaan di Gaza, atau hanya bergerak ketika konflik memanas?
Para pengamat menilai, keberhasilan konferensi Jerman–Mesir bisa membuka jalan menuju rekonsiliasi politik yang lebih luas antara Israel dan Palestina.

“Pembangunan fisik tanpa pembangunan kepercayaan hanya akan melahirkan reruntuhan baru,” kata analis Timur Tengah dari Universitas Kairo, Dr. Hassan El-Sayed.
“Kuncinya adalah kesabaran, komitmen, dan kemanusiaan.”


Penutup: Dari Luka ke Harapan

Setelah bertahun-tahun menjadi simbol penderitaan, Gaza kini menatap masa depan yang rapuh namun penuh harapan.
Inisiatif Jerman dan Mesir menunjukkan bahwa diplomasi tidak harus selalu tentang perang, tapi juga tentang menyembuhkan luka bersama.
Bagi jutaan warga Gaza, konferensi ini bukan sekadar pertemuan antarnegara — tapi tanda bahwa dunia belum sepenuhnya berpaling.

“Mungkin kami belum bebas,” kata Ahmed, “tapi jika anak-anak bisa kembali belajar, itu sudah awal dari kemerdekaan sejati.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *