BeritaKriminalitas

Ketika Hukum Rakyat Bergerak: Kisah Pengarakan Pencuri Sepeda Listrik di Gili Trawangan, Antara Efek Jera dan Pelanggaran Martabat

LOMBOK, 20 November 2025 — Gili Trawangan, surga wisata yang dikenal damai, baru-baru ini menjadi panggung bagi sebuah insiden yang membenturkan dua wajah keadilan: hukum negara dan hukum adat. Seorang perempuan yang tertangkap mencuri sepeda listrik dihukum dengan cara yang kontroversial—diarak keliling pulau. Peristiwa ini bukan sekadar insiden kriminal biasa; ini adalah alarm keras dari komunitas pariwisata yang frustrasi, sekaligus memicu perdebatan sengit tentang batas-batas hukuman sosial.

Di pulau sekecil Gili Trawangan, di mana keamanan dan citra adalah segalanya bagi pariwisata, pencurian dianggap sebagai kejahatan yang merusak fondasi ekonomi. Masyarakat setempat, yang sejak lama mengandalkan sistem awig-awig (hukum adat), sering kali merasa proses hukum formal (polisi dan pengadilan) terlalu lambat dan tidak memberikan efek jera instan.

“Warga di sana merasa terdesak. Mereka ingin memberikan pelajaran yang cepat dan terlihat, terutama bagi pelaku yang mengancam mata pencaharian mereka. Hukuman pengarakan ini, meskipun kejam di mata hukum modern, dipandang sebagai cara terakhir untuk mengatakan: ‘Jangan coba-coba merusak Gili’,” ungkap seorang pengamat sosial yang memahami dinamika komunitas pulau kecil.

Dilema Keadilan di Mata Publik

Praktik pengarakan ini memang memiliki akar tradisi sebagai hukuman sosial. Tujuannya jelas: membuat pelaku menanggung malu di hadapan seluruh komunitas, sehingga mereka dan orang lain takut mengulangi perbuatan serupa.

Namun, di era digital, di mana video pengarakan bisa menyebar dalam hitungan menit, hukuman ini menjadi masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius. Apapun kejahatannya, martabat seseorang tidak boleh dihilangkan.

Hukuman sosial versus Hukum Negara:

  • Yang Didapatkan Warga: Kepuasan bahwa pelaku mendapat hukuman instan, dan efek jera yang cepat terlihat.
  • Yang Terlanggar: Hak pelaku atas proses hukum yang adil (due process of law) dan hak atas martabat pribadi (human dignity), sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

Insiden ini menuntut pemerintah daerah dan aparat hukum untuk segera mencari solusi yang seimbang. Hukum adat awig-awig memang penting untuk menjaga tatanan lokal, tetapi pelaksanaannya harus sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum positif Indonesia.

Perlindungan Pariwisata dan Tanggung Jawab Aparat

Kasus ini harus menjadi momentum bagi Lombok untuk memperkuat sistem keamanan di Gili Trawangan. Membiarkan masyarakat mengambil tindakan main hakim sendiri adalah risiko besar bagi citra pariwisata.

Pemerintah daerah perlu memfasilitasi dialog yang intensif dengan tokoh adat dan kepolisian, memastikan bahwa sistem keamanan di pulau terpencil mendapat dukungan logistik yang cepat. Keadilan harus berjalan, tetapi dilakukan oleh pihak yang berwenang, bukan amarah publik.

Pada akhirnya, hukuman pengarakan ini adalah jeritan ironis: sebuah pulau yang menjual keindahan dan ketenangan kini harus berhadapan dengan dilema keadilan yang keras.

Related KeywordsGili Trawangan, hukuman adat, pengarakan pencuri, hukum pidana, hak asasi manusia, pencurian sepeda listrik, pariwisata lombok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *