Beritaglobal

Ketika Tetangga Bersitegang: Indonesia Serukan Pesan Damai di Tengah Panasnya Perbatasan Thailand-Kamboja

JAKARTA, tentangrakyat.id – Asia Tenggara, rumah kita bersama yang bernaung di bawah payung ASEAN, kembali diuji oleh desingan peluru dan ketegangan diplomatik. Kabar kurang sedap datang dari utara, di mana hubungan dua negara tetangga, Thailand dan Kamboja, dilaporkan memanas akibat sengketa perbatasan yang kembali terusik. Di tengah situasi yang rawan ini, Indonesia tidak memilih untuk diam. Sebagai “saudara tua” di kawasan, Jakarta mengirimkan pesan tegas namun sejuk: kembalilah pada meja perundingan dan hormatilah komitmen gencatan senjata.

Konflik antarnegara seringkali hanya dilihat sebagai urusan politik tingkat tinggi, peta wilayah, atau adu gengsi militer. Namun, bagi tentangrakyat.id, setiap konflik bersenjata selalu memiliki wajah manusia yang terluka. Di balik retorika keras para pejabat di Bangkok maupun Phnom Penh, ada ribuan petani, pedagang kecil, dan keluarga di perbatasan yang kini hidup dalam kecemasan, takut jika ladang tempat mereka mencari nafkah berubah menjadi medan perang.

Indonesia Sebagai Jembatan Perdamaian

Merespons eskalasi ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bergerak cepat menjalankan mandat konstitusi untuk turut menjaga ketertiban dunia. Indonesia mengingatkan kedua belah pihak bahwa senjata tidak pernah menjadi solusi yang berkelanjutan. Komitmen gencatan senjata yang pernah disepakati bukanlah sekadar tinta di atas kertas, melainkan janji suci untuk melindungi nyawa manusia.

Posisi Indonesia sangat jelas: menolak kekerasan. Sejarah mencatat, Indonesia memiliki rekam jejak panjang sebagai mediator yang dipercaya (honest broker) dalam konflik Thailand-Kamboja di masa lalu. Kita pernah mengirimkan peninjau, memfasilitasi dialog, dan meredam amarah. Kini, peran itu kembali dibutuhkan. Indonesia meminta agar militer kedua negara menahan diri (restraint) dan tidak terpancing provokasi yang bisa memicu perang terbuka.

Derita Rakyat di Garis Depan

Mengapa seruan damai ini begitu mendesak? Karena harga dari sebuah perang terlalu mahal untuk dibayar oleh rakyat kecil. Di perbatasan Thailand-Kamboja, kehidupan masyarakat sangat cair dan saling bergantung. Warga Kamboja banyak yang bekerja di Thailand, dan perdagangan lintas batas menjadi denyut nadi ekonomi lokal.

Jika moncong meriam kembali menyalak, yang pertama kali menjadi korban bukanlah para jenderal di ibu kota, melainkan anak-anak yang sekolahnya diliburkan, ibu-ibu yang pasar tempatnya berjualan ditutup, dan warga desa yang harus mengungsi membawa harta seadanya. Trauma perang masa lalu belum sepenuhnya sembuh, dan kita tidak boleh membiarkan luka baru tercipta.

Solidaritas ASEAN yang Dipertaruhkan

Konflik ini juga menjadi ujian bagi solidaritas ASEAN. Di saat dunia sedang tidak baik-baik saja dengan berbagai krisis ekonomi dan geopolitik global, stabilitas Asia Tenggara adalah aset paling berharga yang harus dijaga. Jika dua anggotanya bertikai, maka “kapal besar” ASEAN akan goyah. Investor akan ragu, pariwisata akan terganggu, dan kesejahteraan rakyat di seluruh kawasan—termasuk Indonesia—bisa terkena dampaknya.

Oleh karena itu, suara Indonesia adalah suara kepedulian. Kita menyerukan agar ego sektoral dan nasionalisme sempit dikesampingkan demi kemanusiaan. Tidak ada tanah yang seharga dengan nyawa manusia.

Kita berharap, para pemimpin di Thailand dan Kamboja mendengar suara hati rakyatnya yang merindukan kedamaian. Biarlah perbatasan menjadi jembatan persahabatan, bukan tembok permusuhan. Dan Indonesia, akan selalu siap sedia merangkul kedua sahabatnya untuk duduk bersama, meminum teh, dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan dengan peluru panas.

Related Keywords: sengketa perbatasan thailand kamboja, peran diplomasi indonesia, kemlu ri, stabilitas asean, nasib warga perbatasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *