Suara Sepi di Pasar yang Dulu Ramai
TentangRakyat.id — Di tengah deretan kios tua di Pasar Blauran Surabaya, tumpukan buku-buku bekas kini menjadi saksi sunyi perubahan zaman.
Sebelum era ponsel pintar dan toko online mengambil alih, tempat ini pernah menjadi surga para pencinta buku, pelajar, hingga mahasiswa.
Namun kini, sebagian besar kios tutup. Hanya beberapa pedagang yang masih bertahan — dan itupun dengan omzet yang terus menurun.
“Dulu orang antre cari buku di sini. Sekarang, sehari kadang cuma satu dua yang mampir,” tutur Slamet (62), salah satu pedagang buku bekas yang telah berjualan sejak tahun 1980-an.
Ia menatap rak kayu yang mulai lapuk, penuh buku sejarah, novel lawas, dan kamus yang nyaris tak tersentuh debu.
Digitalisasi yang Tak Terelakkan
Perubahan perilaku masyarakat membaca adalah faktor utama turunnya pembeli.
Dulu, mahasiswa dari Universitas Airlangga dan ITS menjadi pelanggan tetap. Kini, mereka lebih memilih e-book, marketplace, atau sekadar membaca dari layar ponsel.
“Buku sekarang gampang dicari online, murah pula. Kalau di sini, orang harus datang, harus tawar-menawar,” keluh Slamet.
Fenomena ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tanda pergeseran budaya.
Pasar buku bekas yang dulu menjadi ruang bertukar gagasan dan nostalgia kini kalah oleh kecepatan algoritma digital.
Bagi generasi muda, toko fisik tampak usang — padahal di baliknya tersimpan nilai penting: perjumpaan dan pengetahuan yang tak bisa digantikan layar.
Ditinggal Pembeli, Bertahan dengan Harapan
Di sudut lain pasar, Ibu Wati (55) masih menyusun buku pelajaran anak sekolah dasar di kios sempit berukuran 2×3 meter.
Omzetnya kini tak sampai Rp100 ribu per hari. Sebagian besar waktu ia habiskan membaca ulang buku yang tak terjual.
“Kalau tutup, nanti tambah sepi. Jadi saya buka saja, biar ada yang lewat,” katanya lirih.
Beberapa kios di sekitar sudah berubah fungsi — ada yang jadi warung kopi kecil, ada pula yang dijadikan gudang.
Namun bagi Wati dan pedagang lain, berdagang buku bukan hanya soal mencari nafkah, melainkan mempertahankan identitas lama Surabaya sebagai kota literasi.
Pemerintah Kota: Akan Dilakukan Penataan Ulang
Pemerintah Kota Surabaya mengakui bahwa Pasar Blauran kini membutuhkan revitalisasi.
Kepala Dinas Koperasi, Perdagangan, dan UKM Surabaya, Nirwani, mengatakan pihaknya sedang memetakan pedagang yang masih aktif untuk dijadikan bagian dari program Revitalisasi Ekonomi Tradisional (RET).
“Kami ingin area Blauran tidak mati. Pedagang buku tetap akan difasilitasi, mungkin dengan konsep baru yang lebih adaptif terhadap era digital,” ujar Nirwani saat dikonfirmasi.
Rencana itu termasuk menjadikan sebagian area pasar sebagai zona literasi publik — di mana pedagang bisa berjualan sekaligus membuka ruang baca gratis bagi masyarakat.
Meski begitu, banyak pedagang pesimis. Mereka menilai rencana serupa sudah sering muncul tanpa realisasi nyata.
Bukan Sekadar Ekonomi, tapi Soal Ingatan Kolektif
Bagi warga Surabaya, Pasar Blauran bukan sekadar tempat belanja.
Di sana tersimpan memori kota, tempat di mana pelajar berburu buku ujian, orang tua mencari bacaan anak, dan kolektor menemukan karya sastra langka.
Buku-buku tua di Blauran adalah potongan sejarah — dari novel Balai Pustaka, hingga edisi pertama karya Pramoedya.
Kini, halaman-halaman itu pelan-pelan hilang, tergantikan oleh notifikasi dan layar digital.
Sebagian pedagang masih berharap akan ada perubahan, entah dalam bentuk program pemerintah atau kebangkitan minat baca anak muda.
“Kalau nanti semua orang cuma baca lewat HP, siapa yang akan buka toko buku lagi?” kata Slamet, matanya menatap jauh ke deretan kios yang kosong.
Harapan dari Generasi Muda
Meski sepi, tak semua harapan padam. Beberapa komunitas literasi di Surabaya mulai turun tangan.
Komunitas Jagat Literasi misalnya, mengadakan “Pasar Buku Minggu” di Blauran setiap akhir pekan — mengajak anak muda membeli dan membaca buku langsung dari pedagang lama.
“Blauran itu bagian dari identitas Surabaya. Kalau pedagangnya hilang, hilang juga sejarah membaca kota ini,” ujar Eka Putri, koordinator Jagat Literasi.
Inisiatif seperti ini diharapkan bisa menarik minat baru, sekaligus memberi ruang pertemuan antara generasi lama dan baru dalam budaya literasi.
Kesimpulan
Pasar Blauran adalah simbol kecil dari benturan dua dunia: tradisional dan digital.
Pedagang buku bekasnya kini berjuang bukan hanya melawan sepi, tapi melawan lupa.
Mereka bertahan di tengah pergeseran zaman yang makin cepat — dan di setiap buku yang masih tersisa, tersimpan harapan agar Surabaya tetap dikenal sebagai kota yang mencintai ilmu dan membaca.