Netizen Serentak Beri Dukungan kepada Kepala SMAN 1 Cimarga atas Kasus Penonaktifan
Serang, Banten — Dukungan moral terhadap Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria, terus meluas di media sosial setelah ia dinonaktifkan akibat dugaan menampar seorang siswa berinisial LP (17 tahun) karena ketahuan merokok di area sekolah. Banyak warganet menilai bahwa tindakan kepala sekolah tersebut adalah bentuk ketegasan terhadap pelanggaran disiplin dan bukan sesuatu untuk langsung disanksi tanpa klarifikasi.
Gelombang dukungan muncul di berbagai platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, dan kolom komentar unggahan Gubernur Banten, Andra Soni. Netizen ramai-ramai memprotes keputusan penonaktifan, menyebut bahwa jika kepsek dihukum, sekolah-sekolah lain bisa “berani merokok” tanpa efek teguran.
“Ketegasan Sekolah” di Mata Warganet
Di salah satu kolom komentar, akun @pus menyatakan:
“Saya dukung Ibu. Kalau orang tuanya nggak terima, kasih saja surat pindah, biar dididik sendiri.”
Sementara itu, komentar pada unggahan Gubernur Banten juga dipenuhi byar-byar dukungan:
“Pak, jangan sampai Kepsek SMAN 1 Cimarga diberhentikan. Besok-besok satu sekolah bisa berani merokok di sekolah!”
“Keputusan salah bisa fatal, Pak. Nanti makin banyak murid yang berani melanggar aturan,” tulis salah satu netizen.
Sejumlah netizen juga mengkritik aksi mogok belajar yang dilakukan beberapa siswa sebagai solidaritas terhadap rekan yang menjadi korban penamparan. Mereka menyebut bahwa memprotes sekolah untuk membela tindakan yang dianggap salah bukanlah jalan yang tepat.
Latar Belakang Kasus & Penonaktifan
Kasus ini berawal dari dugaan bahwa Kepala SMAN 1 Cimarga menegur dan kemudian menampar siswa LP karena merokok di area sekolah. Setelah kabar ini menyebar, pihak berwenang mengambil langkah untuk menonaktifkan Dini Fitria sementara waktu agar situasi sekolah tetap kondusif dan investigasi dapat berjalan tanpa tekanan dari pihak manapun.
Menurut laporan lokal, proses pemeriksaan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten tengah berjalan, sambil pihak sekolah dan jajaran terkait berusaha meredam eskalasi situasi.
Legitimasi Ketegasan
Banyak yang merasa bahwa kepala sekolah memiliki hak dan tanggung jawab dalam menegakkan disiplin. Menurut mereka, tindakan tegas, meskipun keras, seharusnya dihargai, bukan langsung dijatuhi sanksi.
- Takut Menjadi Preseden Buruk
- Ini muncul dalam komentar seperti “kalau kepsek diberhentikan, nanti sekolah-sekolah lain bisa nekat melanggar aturan tanpa takut.” Kekhawatiran bahwa penonaktifan bisa melemahkan kewibawaan sekolah tampak jelas di media sosial.
Proses Due Process / Penyelidikan Transparan
Penonaktifan sementara harus diikuti dengan penyelidikan yang adil, terbuka, dan melibatkan pihak siswa/orang tua agar hasilnya dapat diterima oleh semua pihak.
Penyampaian Standar Disiplin yang Jelas
Sekolah perlu memiliki tata tertib dan mekanisme penanganan pelanggaran yang sudah disosialisasikan secara jelas kepada siswa, guru, dan orang tua. Aturan tanpa pengertian bersama sering menimbulkan konflik.
Komunikasi Krisis & Manajemen Citra
Dalam era media sosial, keputusan institusi cepat menjadi konsumsi publik. Sekolah dan pemerintah harus pandai merespons — memberi klarifikasi, menahan diri dari eskalasi emosional, dan menjaga citra kelembagaan.
Keterlibatan Orang Tua dan Komite Sekolah
Untuk menghindari polaritas yang tajam, orang tua dan komite sekolah perlu dilibatkan sejak awal dalam dialog, penanganan aduan, dan monitoring pelaksanaan disiplin.
Ekspektasi Transparansi Publik
Keputusan pendidikan, khususnya yang menyangkut siswa/kompetensi moral, akan semakin diawasi publik. Lembaga pendidikan harus siap dengan mekanisme akuntabilitas yang terbuka.
Dialog Hukum & Etika Pendidikan
Kasus ini bisa memicu pembahasan ulang mengenai regulasi yang mengatur kewenangan hukuman fisik di sekolah, prosedur aduan, dan perlindungan hak siswa di negara Indonesia.

