Ammar Zoni Dipindah ke Nusakambangan: Kisah Residivis yang Bikin Hati Pilu dan Pelajaran Rehabilitasi Narkoba
Jakarta, 24 Oktober 2025 — Bayangkan terbangun di sel dingin, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, dikelilingi tembok tebal yang memisahkan dari dunia luar. Itulah realitas baru Ammar Zoni, mantan aktor yang kini menjalani hukuman di Lapas Super Maximum Security Pulau Nusakambangan, Cilacap. Pindahannya pada 16 Oktober lalu, bersama lima narapidana high risk lain, bukan sekadar keputusan administratif—ia adalah respons tegas terhadap rekam jejak Ammar yang penuh luka: tiga kali tersandung narkoba, termasuk diduga menjualnya di dalam rutan. Bagi keluarga Ammar, yang kini berjuang menjaga anak-anaknya di tengah sorotan publik, ini seperti tamparan ganda: kehilangan ayah sekaligus stigma yang melekat. Tapi di balik tragedi pribadi ini, ada pelajaran besar bagi kita semua: bagaimana sistem peradilan dan rehabilitasi bisa jadi jembatan kedua untuk korban narkoba, bukan hanya hukuman.
Ammar Zoni, nama yang dulu melejit lewat sinetron dan film layar lebar, kini jadi simbol perjuangan melawan kecanduan. Kasus pertamanya meledak pada 2021, ketika ia ditangkap atas penguasaan sabu-sabu di Jakarta. Hukuman 4 tahun penjara tak membuatnya kapok; pada 2023, ia kembali berulah di Rutan Salemba, kali ini dengan ganja dan pil ekstasi. Yang terbaru, awal 2025, polisi geledah blok huniannya dan temukan bukti penjualan narkoba: ganja dan sabu yang melebihi batas rehabilitasi menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010. Bersama lima rekannya—A, AP, AM alias KA, ACM, dan MR—Ammar diduga gunakan aplikasi Zangi untuk koordinasi, dengan barang haram datang dari luar rutan. Sidang perdana kasus ini digelar daring pada 23 Oktober, di mana Ammar bicara kondisinya di Nusakambangan: “Saya minta maaf, tapi ini sulit.”
Menteri Imigrasi dan Permasyarakatan Agus Andrianto, dalam pernyataannya Jumat (24/10), membuka dua alasan utama pindahan ini. Pertama, rekam jejak Ammar sebagai residivis: sudah tiga kali terjerat, termasuk saat menjalani hukuman sebelumnya. “Ini menunjukkan ketidakpatuhan pada aturan,” kata Agus, menekankan bahwa Ammar bukan korban pertama. Kedua, pelanggaran spesifik: penguasaan narkoba melebihi batas rehabilitasi, plus dugaan penjualan di rutan. “Barang bukti itu melanggar Pasal 127 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009. Bisa untuk diri sendiri, orang lain, atau bersama-sama—semua berisiko merugikan,” tambahnya. Agus menegaskan, pindahan ini bukan karena Ammar public figure, tapi komitmen memberantas narkoba di lapas. “Siapa pun melanggar, kita tindak sama rata. Ini untuk keadilan bagi semua napi.”
Pindahan ke Nusakambangan bukan sembarang keputusan. Pulau itu, sering disebut “penjara bawah laut,” punya lapas super maksimum security seperti Kembang Kuning dan Batu Kijang, dirancang untuk napi high risk. Ammar ditempatkan di sel isolasi dengan pengawasan ketat: kamera 24 jam, kunjungan terbatas, dan program rehabilitasi intensif. “Di sini, fokusnya pemulihan, bukan hukuman semata,” kata Agus, menambahkan bahwa sebelum Ammar, sudah 1.500 napi high risk dipindah. Asesmen dilakukan setiap enam bulan; jika risiko turun, bisa kembali ke lapas rendah. Ini bagian dari komitmen Kemenimipas untuk bersihkan lapas dari narkoba, yang BNN catat sebagai masalah kronis: 20% napi terlibat, dengan 5.000 kasus baru per tahun.
Bagi keluarga Ammar, ini momen pahit. Istrinya, Leora Legenda, yang juga artis, kini urus anak-anak sendirian di tengah gosip dan tuntutan hidup. “Kami berdoa agar dia kuat dan berubah,” katanya dalam unggahan Instagram terbaru, meminta privasi. Anak-anak Ammar, yang masih kecil, kehilangan ayah di usia kritis—sebuah luka yang tak mudah sembuh. Kisah ini mirip ribuan keluarga lain di Indonesia: BNN laporkan 3,2 juta pecandu aktif pada 2024, dengan 70% berusia 15-35 tahun. Narkoba bukan cuma rusak individu, tapi hancurkan ikatan keluarga, tingkatkan kemiskinan, dan beban sosial Rp 65 triliun per tahun.
Edukasi jadi kunci. Ammar, yang awalnya divonis 4 tahun pada 2021, sempat dapat remisi tapi kambuh lagi. Ini ingatkan bahwa rehabilitasi butuh pendekatan holistik: medis, psikologis, dan sosial. Di Nusakambangan, program seperti Terapi Pengganti Opioid (MMT) dan konseling kelompok bisa bantu, tapi butuh dukungan keluarga. Pakar seperti Dr. Fiqry dari BNN bilang, “Residivis seperti Ammar butuh intervensi dini. Hukuman tanpa rehabilitasi cuma siklus ulang.” Untuk masyarakat, ini pelajaran: cegah dengan edukasi sekolah dan komunitas, bukan stigma. Kampanye seperti “Narkoba Bukan Teman” BNN sudah capai 10 juta remaja, tapi butuh lebih.
Harapan untuk Ammar ada. Di Nusakambangan, ia bisa refleksi, ikut program seni atau agama untuk pulih. Keluarganya tunjukkan kekuatan: Leora tetap kerja untuk anak-anak, inspirasi bagi banyak ibu. Pindahan ini, meski keras, bisa jadi titik balik—bukan akhir, tapi awal baru. Seperti kata Agus, “Kami ingin mereka kembali ke masyarakat sebagai warga baik.” Di tengah sorotan, kisah Ammar ajak kita empati: narkoba musuh bersama, dan rehabilitasi adalah jalan pulang.
