BeritaEkonomiPolitik

Polemik Dana Mengendap Jabar: Dede Yusuf Imbau Purbaya dan Dedi Mulyadi Duduk Bareng, Hindari Debat Publik

Jakarta, 26 Oktober 2025 — Di tengah kesibukan pemerintah mengejar target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029, polemik dana APBD mengendap kembali mencuri perhatian. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) untuk tidak berdebat di depan publik soal Rp 4,17 triliun dana Pemprov Jabar yang disebut mengendap di bank. “Nggak usah berpolemik, anggaran hilang pasti ada yang periksa,” kata Dede, menekankan perbedaan sudut pandang ini bisa diselesaikan lewat dialog internal. Bagi warga Jabar seperti Ibu Rini (45), pedagang di Bandung, ini bukan angka kering: dana itu bisa jadi jalan tol baru atau bantuan UMKM, tapi debat publik cuma bikin bingung dan tunda pembangunan. Di balik angka Rp 234 triliun dana daerah nasional yang mengendap, ada cerita rakyat kecil yang nunggu manfaatnya—dan harapan agar polemik ini tak ganggu roda ekonomi daerah.

Polemik ini meledak setelah Purbaya sebut dana APBD daerah mengendap Rp 234 triliun di bank, termasuk Rp 4,17 triliun milik Pemprov Jabar dalam bentroko deposito. “Ini peluang hilang untuk pembangunan,” kata Purbaya di forum “1 Tahun Prabowo-Gibran” pada 16 Oktober, soroti efisiensi pencairan transfer keuangan daerah (TKD). Respons Dedi Mulyadi tajam: ia tantang Purbaya buktikan dana itu benar mengendap, dan bantah bahwa Jabar kesulitan keuangan. “Tidak semua daerah parkir dana sengaja; kami siap pakai untuk proyek,” balas Dedi, yang kemudian “safari” ke Jakarta: audiensi dengan Mendagri Tito Karnavian, lalu cek langsung ke Bank Indonesia (BI). Hasilnya? Di BI, Dedi klaim hanya Rp 2,4 triliun, bukan Rp 4,1 triliun. “Ini bikin publik bingung,” katanya Rabu (22/10), minta Purbaya klarifikasi agar tak picu salah paham.

Dede Yusuf, yang Komisi II-nya mitra Kemendagri, lihat ini sebagai perbedaan persepsi biasa. “Pemda butuh dana siap pakai, tapi tender proyek baru Agustus, kerjaan September-November. Makanya dana stand by,” jelasnya. Ia sarankan transfer TKD lebih awal—Januari-Februari—supaya tender April, penyerapan September. “Kalau transfer telat, dana mengendap wajar,” tambah Dede, puji rencana Purbaya mulai pencairan Januari 2026. “Itu bagus, bisa percepat pembangunan daerah.” Bagi Dede, polemik ini tak perlu eskalasi: “Bicarakan lewat kesepakatan Kemenkeu-Pemda, yang dikirim ke DPR. Anggaran pasti diaudit BPK.”

Bagi rakyat Jabar, dana Rp 4,17 triliun itu bukan abstrak. Di Bandung, seperti Bapak Udin (50), sopir ojek, yang nunggu perbaikan jalan rusak di pinggiran kota: “Dana itu bisa bikin jalan bagus, UMKM jalan. Kalau debat mulu, kami yang rugi.” Jabar, dengan APBD Rp 50 triliun 2025, punya proyek prioritas seperti tol Cisumdawu dan banjir Bandung, tapi dana mengendap tekan penyerapan—hanya 60% per September (data Kemendagri). Dedi Mulyadi, yang safari ke BI, klaim dana siap pakai untuk proyek, tapi Purbaya soroti nasional: Rp 234 triliun mengendap kurangi multiplier effect ekonomi, tekan target 5,5% PDB 2025.

Ini bukan pertama. Polemik serupa muncul di 2024 soal dana desa mengendap Rp 20 triliun, yang akhirnya diselesaikan via MoU Kemendagri-Kemenkeu. Dede harap kasus Jabar ikut: “Duduk bareng, cari solusi. Publik butuh fakta, bukan debat.” Purbaya, di forum 16 Oktober, janji mekanisme baru: “Tahun depan, TKD cair Januari, tender lebih cepat.” Dedi, via audiensi Tito, tekankan Jabar nggak kesulitan—dana Rp 2,4 triliun siap digulirkan.

Harapan ke depan: dialog ini percepat pencairan, manfaatkan dana untuk rakyat. Di Jabar, yang 40% penduduknya pekerja informal (BPS 2024), dana APBD bisa jadi bantalan ekonomi pasca-pandemi. Seperti kata Dede: “Nggak usah polemik, fokus hasil.” Bagi Ibu Rini dan ribuan warga lain, ini panggilan: anggaran untuk pembangunan, bukan perdebatan.

📌 Sumber: Kompas.com, Kemendagri, BPS Jabar, diolah kembali oleh tim tentangrakyat.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *