BeritaEkonomi

Hidup Anak Rantau di Jogja dengan Gaji UMR: Gaya, Realita, dan Strategi Bertahan

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, kota budaya, sekaligus destinasi kuliner yang tak pernah habis dijelajahi. Namun, di balik romantisme itu, banyak anak rantau yang harus menghadapi realita: hidup hanya dengan gaji UMR Jogja yang saat ini masih tergolong salah satu yang terendah di Indonesia.

Bagaimana caranya mereka bisa bertahan, bahkan tetap bergaya?


Kost Murah: Rumah Kedua Anak Rantau

Bagi banyak perantau, mencari kost murah adalah prioritas utama. Harga sewa kost di Jogja bervariasi, mulai dari Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan. Dengan gaji UMR yang sekitar Rp2,2 juta–Rp2,3 juta, sebagian besar memilih kost sederhana di pinggiran kota, meski jaraknya lebih jauh dari pusat keramaian.

Kamar kecil dengan kasur busa, kipas angin, dan meja belajar seadanya sudah cukup. Di situlah mereka pulang setelah seharian bekerja.


Strategi Makan Hemat

Urusan makan jadi tantangan utama. Untungnya, Jogja masih dikenal sebagai surganya makanan murah. Warteg, angkringan, hingga burjo jadi sahabat setia anak rantau.

Dengan Rp10 ribu, mereka bisa makan nasi, sayur, tempe, plus teh hangat. Kalau lagi benar-benar hemat, cukup sebungkus nasi kucing Rp3 ribuan ditemani gorengan.

Meski sederhana, momen nongkrong di angkringan sering kali jadi cara mereka melepas penat, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama perantau.


Gaya Hidup: Tetap Ingin Eksis

Meski hidup pas-pasan, anak rantau di Jogja tetap ingin menikmati hidup. Sesekali mereka menyisihkan uang untuk nongkrong di kafe estetik, sekadar ngopi dan foto untuk media sosial.

Di era digital, menjaga eksistensi jadi bagian dari gaya hidup. Walau harus berhemat seminggu penuh, akhir pekan bisa jadi waktu “reward” untuk diri sendiri.


Transportasi dan Mobilitas

Sebagian besar memilih menggunakan motor bekas untuk mobilitas. BBM diisi secukupnya, kadang Rp20 ribu bisa dipakai bolak-balik kerja seminggu. Ada juga yang lebih memilih sepeda atau transportasi umum seperti Trans Jogja.

Bagi yang benar-benar hemat, jalan kaki masih jadi pilihan, apalagi kalau jarak kost ke kantor tak terlalu jauh.


Bertahan dengan Kreativitas

Banyak anak rantau tak hanya mengandalkan gaji bulanan. Mereka mencari tambahan lewat kerja sampingan:

  • Freelance desain atau tulis-menulis.
  • Jualan online kecil-kecilan.
  • Jadi content creator dengan target uang jajan dari adsense.

Kreativitas ini lahir dari kebutuhan, tapi juga memberi rasa bangga karena bisa mandiri.


Antara Realita dan Romantisme Jogja

Jogja memang punya wajah dua sisi. Di satu sisi, biaya hidup relatif murah dibanding kota besar lain. Di sisi lain, gaji UMR yang rendah membuat perantau harus pintar-pintar mengatur keuangan.

Namun, justru di situlah cerita perjuangan mereka lahir. Dari kamar kost sempit, makan di angkringan, hingga nongkrong dengan kopi sachet, semua itu menjadi bagian dari kisah hidup yang kelak akan mereka kenang.


Penutup: Hidup Sederhana, Banyak Cerita

Hidup dengan UMR Jogja memang penuh tantangan, apalagi bagi anak rantau. Tapi dari keterbatasan itu lahirlah solidaritas, kreativitas, dan cerita-cerita yang tak ternilai.

Di kota ini, anak-anak rantau belajar bahwa bahagia bukan soal seberapa besar gaji, melainkan bagaimana menikmati hidup dengan cara sederhana namun bermakna.

Ikuti terus cerita kehidupan masyarakat dan anak muda hanya di portal berita kesayanganmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *