Ekonomi

Pengendara Mulai Beralih Usai SPBU Swasta Impor BBM lewat Pertamina

Jakarta — Pergeseran perilaku konsumen terjadi di tengah kelangkaan bensin non-subsidi di jaringan SPBU swasta. Setelah pemerintah membuka skema impor melalui Pertamina bagi operator swasta, sebagian pengendara mengaku memilih kembali mengisi di SPBU milik negara karena alasan ketersediaan stok dan harga. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai “jalur cepat” untuk menutup kekosongan pasokan di Shell, BP-AKR, Vivo, hingga jaringan lain yang sempat menipis sejak akhir Agustus.

Dalam skema baru itu, Pertamina Patra Niaga menawarkan kargo bensin sekitar 16.000 kiloliter yang sudah tiba pekan ini kepada operator swasta, sambil menunggu kesepakatan teknis penyaluran di lapangan. Otoritas energi juga menyiapkan ruang dari sisa kuota impor Pertamina tahun ini yang bisa dialokasikan untuk membantu distribusi ke jaringan swasta.

Di sisi lain, Kementerian ESDM menyebut sebagian besar badan usaha pengelola SPBU swasta sudah setuju mengambil pasokan melalui pola business-to-business (B2B) bersama Pertamina, sementara satu badan usaha masih belum menyepakati pengambilannya.

Suara Konsumen: Dari Ketersediaan ke Pertimbangan Harga

Wati (37), warga Jakarta Pusat, mengaku sudah beberapa kali mendapati SPBU swasta di sekitarnya kosong. “Kalau stok kosong terus, otomatis pindah ke Pertamina,” ujarnya, menekankan bahwa pilihan praktis mengalahkan preferensi merek ketika bahan bakar sulit didapat. Ia juga menilai, bila impor untuk SPBU swasta pada akhirnya bersumber dari Pertamina, pertimbangan harga membuatnya condong ke SPBU BUMN.

Di halaman 2 laporan serupa, dua pengendara lain menambahkan perspektif yang memperkaya peta respons konsumen. Satria (27), warga Jakarta Selatan, menilai impor lewat Pertamina tak masalah asalkan kualitas BBM di SPBU swasta tetap terjaga. Namun secara jujur ia mengaku “lebih memilih isi di Pertamina” bila kualitas sama, karena faktor harga. Riko (30), pengguna mobil pribadi, juga mengaku sementara beralih ke Pertamina selama stok di SPBU swasta masih kosong, seraya menyuarakan kekhawatiran bila semua pasokan bergantung pada satu pihak, harga bisa “dikendalikan oleh satu pihak saja” sehingga pilihan konsumen menyempit.

Pernyataan-pernyataan di atas menggambarkan dua hal. Pertama, ketersediaan adalah faktor nomor satu dalam keputusan pengisian BBM harian. Kedua, begitu pasokan membaik, harga dan persepsi kualitas menjadi penentu. Dalam konteks itu, opsi impor lewat Pertamina dinilai konsumen sebagai solusi darurat yang bisa memastikan pasokan, tetapi tetap menyisakan pertanyaan tentang kompetisi dan transparansi.

Mengapa Skema Impor Lewat Pertamina Muncul?

Sejak akhir Agustus, permintaan ke SPBU swasta melonjak, sebagian dipengaruhi kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dan sorotan publik terhadap kualitas produk tertentu, sehingga konsumen beralih ke non-subsidi di jaringan swasta. Di saat bersamaan, ada pembatasan kuota impor yang membuat swasta lebih cepat menyentuh batas tahunannya. Pemerintah kemudian mengizinkan impor tambahan lewat Pertamina agar stok cepat terisi.

Patra Niaga mengeksekusi dengan menawarkan kargo 16.000 KL base gasoline kepada Shell dan BP-AKR. Secara paralel, dokumen pasar menunjukkan Pertamina juga mencari pasokan 90-RON untuk pengiriman Oktober–Desember, yang mengindikasikan strategi menjaga suplai hingga akhir tahun. Reuters+1

Kementerian ESDM menegaskan, aransemen B2B ini bersifat sementara untuk menstabilkan pasokan. Ke depan, pemerintah justru mendorong badan usaha swasta mengajukan kebutuhan impor 2026 secara mandiri sejak Oktober agar tak terjadi bottleneck lagi.

Titik Renta: Spesifikasi Aditif, Logistik, dan Persaingan

Di lapangan, ada isu teknis yang sering luput di permukaan: perbedaan spesifikasi aditif antarmerek. Walau RON sama, campuran aditif performa dan kebersihan mesin berbeda. Itu sebabnya, suplai “siap tuang” tak selalu bisa langsung disalurkan tanpa penyesuaian teknis. Selain itu, setelah kargo tiba, distribusi ke depot dan SPBU tetap bergantung rantai logistik yang padat. (Penjelasan ini dikuatkan oleh keterangan berbagai pejabat dan pelaku industri dalam pemberitaan sepekan terakhir.)

Isu lain adalah persaingan. Otoritas persaingan usaha (KPPU) telah mengingatkan bahwa kebijakan impor non-subsidi yang terlalu mengekang pelaku swasta berpotensi merugikan konsumen, mengurangi pilihan, dan menciptakan praktik tidak adil, sehingga perlu evaluasi berkala. Pernyataan ini relevan dengan kekhawatiran Riko soal “harga dikendalikan satu pihak”.

Apa Artinya Bagi Pengemudi?

Bagi pengendara harian, tiga dampak langsung terlihat:

  1. Antrian & rute pengisian berubah — Saat SPBU swasta kosong, pengendara spontan mengalihkan rute ke SPBU Pertamina terdekat. Begitu kargo impor didistribusikan, rute bisa normal lagi, namun jeda waktu distribusi menentukan lamanya transisi.
  2. Harga jadi penentu detik terakhir — Jika kualitas dianggap setara, pengendara, seperti Satria, cenderung memilih titik yang lebih murah. Ini membuat SPBU swasta harus memastikan struktur biaya setelah mengambil pasokan impor lewat Pertamina tetap kompetitif di nozzle.
  3. Kepercayaan dibangun oleh kepastian — Konsumen mengutamakan kepastian stok dan konsistensi produk. Begitu pasokan stabil di semua jaringan, preferensi merek akan kembali ditentukan layanan, promosi, dan pengalaman pengisian.

Tantangan Kebijakan di Depan Mata

Pemerintah sekarang berada pada titik keseimbangan: menstabilkan pasokan tanpa mematikan dinamika pasar. Di satu sisi, channeling lewat Pertamina terbukti mempercepat perbaikan stok. Di sisi lain, ketergantungan berkepanjangan berisiko mempersempit pilihan konsumen dan memunculkan persepsi dominasi tunggal—persis kekhawatiran yang disuarakan Riko. Jalan tengahnya: memperjelas kerangka transparansi (asal kargo, harga dasar, ongkos distribusi), memberi ruang swasta mengimpor langsung di 2026 dengan jadwal perencanaan dini, dan memastikan standardisasi mutu ketika base fuel dipasok lintas jaringan.

Kesimpulan

Pergeseran pengendara kembali ke SPBU Pertamina adalah konsekuensi logis dari kelangkaan di jaringan swasta dan skema impor yang kini melewati satu pintu. Bukti di lapangan memperlihatkan preferensi yang sangat rasional: stok dulu, harga menyusul. Selama masa pemulihan, penawaran kargo 16.000 KL dan perluasan tender kuartal terakhir menjadi bantalan pasokan, sambil operator swasta menyelesaikan urusan aditif, logistik, dan perhitungan harga. Namun dalam jangka panjang, kompetisi sehat—bukan ketergantungan—yang akan menguntungkan konsumen. Suara Satria, Wati, dan Riko mencerminkan itu: mereka hanya ingin barang ada, kualitas jelas, dan harga adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *