Koalisi Sipil Desak Pendekatan Dialogis dalam Kasus Bendera di Aceh, Kritik Represi Aparat
Aceh, 27 Desember 2025 – Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh aparat militer terhadap warga yang mengadakan aksi massa di Aceh Utara pada 25 Desember 2025. Menurut koalisi tersebut, pendekatan dialogis harus ditempuh atas insiden pengibaran bendera, bukan tindakan represif dan intervensi militeristik yang dinilai justru memperkeruh situasi pascabencana yang telah melanda wilayah tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga advokasi hak asasi manusia, organisasi nonpemerintah, dan kelompok advokasi perempuan menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan unjuk rasa tersebut tidak sesuai dengan prinsip hak sipil dan konstitusi. Menurut pernyataan koalisi, rezim aparat seharusnya tidak mengambil peran dominan dalam mengatasi persoalan sipil.
Insiden di Lhokseumawe dan Polemik Bendera
Peristiwa berawal ketika sekelompok warga Aceh Utara melakukan aksi demonstrasi untuk menyampaikan keluhan tentang penanganan bencana alam yang belum optimal, termasuk distribusi bantuan dan pemulihan infrastruktur pasca-banjir bandang. Dalam aksi itu, publikasi foto dan video menunjukkan sebagian massa membawa simbol berupa bendera mirip Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
TNI kemudian merespons dengan membubarkan aksi massa tersebut dengan alasan simbol tersebut merupakan simbol yang dikaitkan dengan gerakan separatis yang dilarang berdasarkan hukum nasional. Aparat militer menegaskan bahwa keterlibatan mereka bertujuan menjaga kedaulatan negara dan sesuai dengan aturan yang berlaku, termasuk ketentuan dalam KUHP serta peraturan pelarangan simbol separatis.
Namun, koalisi sipil mengatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan simbol yang dibawa oleh massa seharusnya menjadi bagian dari dialog terbuka ketimbang menjadi justifikasi pembubaran dengan kekuatan militer. Mereka menekankan bahwa pada momen seperti ini — di tengah proses pemulihan setelah bencana — pendekatan komunikasi yang humanis dan dialogis jauh lebih tepat.
Koalisi Sipil: Represi Itu Tidak Tepat
Dalam pernyataan pers yang dirilis koalisi, mereka mengecam keras apa yang disebut sebagai tindakan represif dan penggunaan kekerasan, yang menurut mereka dilakukan oleh aparat terhadap pengunjuk rasa. Koalisi menyatakan bahwa pengerahan pasukan TNI untuk menangani aksi massa sipil bertentangan dengan fungsi dan tugas utama militer. Peristiwa itu dinilai telah menciptakan kekhawatiran baru dan luka lama dalam sejarah konflik Aceh yang panjang.
Ardi, juru bicara koalisi, menegaskan bahwa penggunaan dalih bendera tersebut tidak semestinya menjadi alasan untuk pembubaran paksa. “Respon militeristik terhadap warga sipil yang sedang menyampaikan aspirasi justru memperlihatkan rendahnya sensitivitas aparat terhadap konteks sosial Aceh,” ujarnya.
Koalisi juga mendesak DPR dan Pemerintah Indonesia untuk segera memerintahkan Panglima TNI menindak oknum aparat yang bertindak represif, agar tidak menimbulkan trauma baru di tengah masyarakat Aceh yang sedang mencoba pulih dari bencana. Selain itu, mereka meminta pemerintah memfokuskan upaya pada pemulihan hak-hak warga dan penanganan bencana secara menyeluruh.
Reaksi dan Seruan Kelembagaan Lain
Menanggapi insiden ini, sejumlah legislator juga menyerukan pendekatan yang lebih bijak dan proporsional. Anggota Komisi I DPR menyatakan bahwa pengibaran bendera tertentu merupakan bagian dari gejala sosial yang harus ditangani secara hati-hati dan dengan kepala dingin, tanpa eskalasi kekerasan yang tidak perlu. Pendekatan dialog perbaikan sosial dan kemanusiaan lantang diusung untuk meredam ketegangan di garis depan masyarakat.
Selain itu, DPR meminta semua pihak di Aceh untuk menahan diri agar tidak terjadi gesekan baru yang justru memperburuk situasi di lapangan, terutama di tengah tantangan pemulihan akibat bencana alam yang tengah dihadapi warga.
Kesimpulan: Dialog Daripada Represi
Kasus insiden ini memunculkan kritik tajam bagi pendekatan aparat terhadap isu sipil dan simbol yang sensitif secara historis di Aceh. Koalisi sipil menegaskan bahwa solusi dialogis, transparan, dan berbasis pada penghormatan hak asasi merupakan kunci untuk menyelesaikan ketegangan di daerah pascabencana. Mereka juga menyerukan agar negara hadir secara penuh dalam menyediakan pemulihan, bukan justru menghadirkan tindakan militer yang dapat membuka luka lama konflik.

