Wisata

Pelaku Wisata Minta Perbaikan Tata Kelola Gunung Rinjani Usai Kenaikan Tarif Pendakian

Para pelaku wisata dan komunitas di sekitar Gunung Rinjani mendukung kenaikan tarif pendakian, namun menuntut alokasi dana minimal 30 % dari penerimaan masuk kembali ke kawasan untuk memperbaiki fasilitas, tata kelola, dan pengembangan sumber daya lokal.

Kenaikan tarif pendakian ke kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) di Lombok menyambut pro dan kontra. Sementara tarif baru disambut sebagai langkah menuju pengelolaan wisata yang lebih serius, para pelaku wisata––termasuk trek­king organizer, porter, dan pemandu lokal––menekankan bahwa kenaikan tersebut harus dibarengi dengan perbaikan nyata dalam tata kelola, fasilitas, serta alokasi penerimaan untuk kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Mulai 3 November 2025, tarif masuk pendakian Gunung Rinjani akan mengalami kenaikan sesuai dengan penetapan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 17 Tahun 2025 yang mengatur pembagian kelas tiket masuk pengunjung ke taman nasional dan taman wisata alam untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Tarif untuk jalur kelas I, misalnya, untuk wisatawan mancanegara (wisman) adalah Rp 250.000 per orang per hari, dan untuk wisatawan nusantara (wisnus) Rp 50.000 per orang per hari.

Kenaikan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pengelolaan kawasan serta mendorong peningkatan kualitas wisata.

Harapan Pelaku Wisata Sekitar Rinjani

Ketua Forum Wisata Lingkar Rinjani (FWLR), Royal Sembahulun, menyambut kenaikan tarif, namun mengajukan sejumlah syarat penting. Ia meminta agar minimal 30 % dari PNBP yang dihasilkan dialokasikan kembali ke kawasan Rinjani untuk memperbaiki tata kelola dan fasilitas.

Menurut Royal, selama ini penerimaan langsung disetor ke pemerintah pusat dan digunakan untuk sektor di luar kawasan. “Padahal masih banyak fasilitas yang perlu diperbaiki di Rinjani — seperti jalur pendakian, pengelolaan sampah, ketersediaan toilet, hingga peralatan evakuasi,” ungkapnya.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa perbaikan fasilitas bukan sekadar untuk meningkatkan kenyamanan pendaki, tetapi juga berdampak jangka panjang pada para pelaku jasa wisata lokal seperti porter, pemandu, dan trek­king organizer. “Ketika Rinjani terus dilakukan perbaikan dan fasilitas lengkap, maka ini akan berdampak pada kualitas teman-teman pengusaha jasa wisata,” katanya.

Selain itu, Royal meminta agar pihak pengelola melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum tarif baru diberlakukan, agar pelaku wisata dapat menyesuaikan harga paket pendakian dan persiapan operasional lainnya.

Permasalahan Pengelolaan yang Disoroti

Sejumlah persoalan pengelolaan kawasan pendakian menjadi sorotan pelaku wisata seiring dengan perubahan tarif, yaitu:

Fasilitas yang belum memadai: Beberapa jalur pendakian masih memerlukan perbaikan jalur, sanitasi (toilet) yang terbatas, serta pengelolaan sampah yang belum optimal.

Distribusi manfaat yang belum merata: Masyarakat di lingkar Rinjani mengeluhkan bahwa manfaat ekonomi dari wisata pendakian belum berdampak signifikan bagi mereka. Sebelumnya, banyak logistik dan penginapan datang dari luar kawasan, dengan sedikit pemberdayaan lokal.

Kebutuhan tata kelola modern: Pengelolaan pendakian perlu ditingkatkan dengan standar mutu, ke­amanan, evakuasi, serta pelibatan pemangku kepentingan lokal serta sertifikasi pemandu atau porter.

Manfaat yang Diinginkan dari Kenaikan Tarif

Pelaku wisata berharap bahwa kenaikan tarif tidak hanya menjadi beban tambahan bagi pendaki, melainkan menjadi alat untuk:

Meningkatkan kualitas wisata: Fasilitas yang lebih baik, jalur yang aman, serta pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab akan membuat Rinjani semakin layak untuk wisata kelas dunia.

Pemberdayaan masyarakat lokal: Dengan alokasi dana yang jelas, masyarakat di kawasan lingkar bisa lebih aktif dalam usaha pariwisata, mulai dari pemandu, porter, hingga penginapan berbasis lokal.

Royal menekankan bahwa perbaikan nyata akan membuat Rinjani tidak hanya menarik secara alam, tetapi juga berkelanjutan secara ekonomis dan sosial bagi komunitas lokal.

Tantangan dan Catatan Penting ke Depan

Meski terbuka peluang dan harapan, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, pengelola kawasan, dan pemangku kepentingan:

Sosialisasi dan komunikasi perubahan tarif serta alokasi dana perlu dilakukan secara transparan agar pelaku wisata dan masyarakat tidak merasa dirugikan.

Pengawasan dan akuntabilitas penggunaan dana PNBP harus dijamin agar alokasi minimal 30 % benar-benar digunakan untuk kawasan, sesuai harapan pelaku wisata.

Perlunya monitoring dan evaluasi berkala terhadap peningkatan fasilitas, dampak ekonomi terhadap masyarakat lokal, serta dampak terhadap lingkungan.

Kesimpulan dan Ajakan Akhir

Kenaikan tarif pendakian ke Gunung Rinjani membuka babak baru dalam pengelolaan wisata di kawasan tersebut. Pelaku wisata dan masyarakat lokal menyambut positif, namun menegaskan bahwa perubahan membuat harapan yang tinggi akan perbaikan nyata. Dengan alokasi dana, perbaikan fasilitas, dan penguatan tata kelola, Rinjani bisa berkembang menjadi destinasi yang tidak hanya indah, tetapi juga berkelanjutan dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
Bagi pendaki dan pelaku wisata, penting untuk mendukung proses ini dengan memilih penyelenggara yang beroperasi dengan standar baik, menghormati regulasi, serta mendukung pemberdayaan lokal. Dengan demikian, pengalaman mendaki tidak hanya mengesankan secara pribadi, tetapi juga berdampak positif terhadap lingkungan dan sosial—untuk generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *