Perbedaan Kehidupan Warga Menengah ke Bawah Indonesia dan Filipina
Kehidupan warga menengah ke bawah di Asia Tenggara memiliki wajah yang beragam, dipengaruhi faktor ekonomi, sosial, hingga budaya. Indonesia dan Filipina, dua negara dengan jumlah penduduk besar di kawasan ini, sama-sama menghadapi tantangan kesejahteraan. Namun, ada perbedaan mencolok dalam pola hidup, akses layanan publik, hingga cara bertahan sehari-hari.
1. Ekonomi Keluarga: Bertahan dengan Gaji Minimum

Di Indonesia, mayoritas warga menengah ke bawah bekerja di sektor informal: pedagang kaki lima, buruh harian, hingga pekerja transportasi online. Gaji UMR yang bervariasi antar daerah sering kali tidak cukup menutupi biaya hidup di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Sementara di Filipina, banyak warga bergantung pada pekerjaan di sektor jasa, BPO (Business Process Outsourcing), serta remitansi dari keluarga yang bekerja sebagai OFW (Overseas Filipino Workers). Kontribusi remitansi ini cukup signifikan, sering kali jadi penopang utama ekonomi keluarga menengah ke bawah.
2. Perumahan: Permukiman Padat vs Barung-Barung
Di kota-kota besar Indonesia, kawasan permukiman padat atau kampung kota masih menjadi wajah nyata kelas menengah ke bawah. Rumah kecil berdempetan, fasilitas terbatas, dan rawan banjir menjadi tantangan sehari-hari.
Di Filipina, istilah “barung-barung” digunakan untuk menyebut hunian semi permanen yang banyak ditemui di pinggiran Manila. Meski mirip kampung kumuh di Indonesia, barung-barung sering dibangun di lahan sengketa atau dekat jalur rel kereta, sehingga rawan penggusuran.

3. Pendidikan dan Akses Kesehatan
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir gencar dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan BPJS Kesehatan, meski implementasinya masih menghadapi kendala teknis.
Di Filipina, sistem kesehatan publik dikelola lewat PhilHealth, sementara pendidikan dasar hingga menengah sudah gratis. Namun, kualitas sekolah negeri sering kali masih tertinggal dari swasta, mirip dengan kondisi di Indonesia.
4. Gaya Hidup dan Konsumsi
Warga menengah ke bawah Indonesia cenderung menyesuaikan gaya hidup dengan budaya lokal: nongkrong di warung kopi sederhana, belanja di pasar tradisional, hingga konsumsi makanan murah seperti nasi goreng atau mie instan.
Sementara di Filipina, makanan cepat saji seperti Jollibee atau McDonald’s justru jadi konsumsi harian banyak keluarga menengah ke bawah. Hal ini dipengaruhi budaya praktis dan harga yang relatif terjangkau.
5. Cara Bertahan di Tengah Krisis
Ketika pandemi COVID-19 melanda, warga menengah ke bawah Indonesia mengandalkan solidaritas sosial, seperti gerakan gotong royong dan bantuan sembako.
Di Filipina, solidaritas komunitas juga kuat, namun remitansi dari pekerja luar negeri terbukti menjadi penyelamat utama banyak keluarga. Inilah yang membedakan pola bertahan hidup antara kedua negara.
Internal Link: Isu Sosial & Ekonomi Rakyat
Baca ulasan lengkap soal kehidupan masyarakat Asia Tenggara hanya di tentangrakyat.id.
Penutup
Perbandingan kehidupan warga menengah ke bawah di Indonesia dan Filipina menunjukkan perbedaan sekaligus persamaan. Indonesia kuat dengan budaya gotong royong, sementara Filipina sangat bergantung pada remitansi pekerja migran.
Keduanya masih menghadapi tantangan sama: keterbatasan akses layanan publik, kesenjangan ekonomi, dan perjuangan harian untuk bertahan hidup.
Pertanyaannya, mampukah kedua negara ini memperbaiki nasib warganya melalui kebijakan inklusif yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil?
