Beritaglobal

Langit Gaza yang Senyap Setelah Ledakan

TentangRakyat.id — Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu dihujani bom dan peluru, langit Gaza hari itu terdengar senyap.
Pada Jumat pagi, 10 Oktober 2025, gencatan senjata sementara antara Israel dan Hamas mulai berlaku.
Di tengah asap yang belum sepenuhnya sirna, ribuan warga Gaza mulai berjalan kaki kembali ke arah utara, ke kota dan desa yang dulu mereka tinggalkan.

Langkah kaki mereka pelan tapi pasti — menembus puing-puing bangunan, membawa anak-anak, membawa barang seadanya, dan sebagian membawa hanya harapan.

“Bahkan jika rumah kami hancur… kami akan kembali,” kata Wael Al-Najjar, salah satu warga yang dikutip BBC.
“Kami akan mendirikan tenda di atas puing, karena Gaza adalah rumah kami.”


Eksodus Balik: Dari Pengungsian ke Rumah yang Tak Lagi Ada

Pemandangan luar biasa itu menjadi simbol keteguhan rakyat Palestina.
Setelah berminggu-minggu tinggal di tenda pengungsian di Rafah dan Khan Younis, mereka memilih kembali ke rumah — meski tahu banyak yang sudah tinggal puing.

Di sepanjang jalan menuju Gaza City, ratusan keluarga berjalan kaki sejauh belasan kilometer, melewati reruntuhan, kendaraan terbakar, dan kabel listrik yang bergelantungan.
Beberapa membawa bendera putih sebagai tanda damai, takut jika perjanjian gencatan tiba-tiba berakhir.

Laporan dari Reuters dan BBC menyebut banyak dari mereka tidak lagi berharap pada bantuan internasional. Mereka hanya ingin melihat kembali tanah mereka sendiri, meski sekadar memastikan masih ada yang bisa diselamatkan.

“Rumah saya mungkin sudah tak ada,” ujar Rania Hamad, ibu tiga anak.
“Tapi saya ingin anak-anak saya tahu di mana tempat kami berasal.”


Gencatan Senjata dan Kesepakatan Kemanusiaan

Perjanjian gencatan senjata itu dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan PBB, serta disetujui kedua belah pihak setelah tekanan diplomatik internasional meningkat.
Kesepakatan mencakup:

  • Penghentian serangan selama tujuh hari,
  • Pertukaran tahanan: 50 sandera Israel ditukar dengan 150 tahanan Palestina,
  • Pembukaan akses truk bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke Jalur Gaza,
  • Dan penarikan sebagian pasukan Israel dari zona utara.

Meskipun disebut “sementara”, perjanjian ini disambut dengan rasa lega bercampur waspada.
Bagi warga Gaza, setiap jam tanpa bom adalah keajaiban kecil.

“Kami tidak tahu sampai kapan damai ini bertahan,” ujar seorang pria tua di kamp Deir al-Balah kepada The Guardian.
“Tapi kami tahu, kami tak bisa hidup selamanya di bawah tanah.”


Rumah yang Tak Lagi Utuh, Tapi Masih Berarti

Bagi banyak keluarga, kata “rumah” kini hanya berarti tumpukan bata dan debu.
Namun di situlah mereka menaruh harapan.
Anak-anak menggambar di pasir, ibu-ibu mencari sisa pakaian, dan para ayah menegakkan tiang darurat dari kayu bekas bangunan.
Gaza yang hancur kini dipenuhi tenda-tenda kecil dengan kain bertuliskan:

“Kami pulang.”

Lembaga kemanusiaan seperti Palang Merah Internasional (ICRC) melaporkan bahwa sebagian besar rumah di wilayah utara Gaza rusak lebih dari 60%, termasuk sekolah dan rumah sakit.
Namun, meski tanpa listrik dan air, warga memilih kembali karena rasa memiliki yang tak tergantikan.

“Kami kehilangan segalanya,” kata Ahmed al-Masri, warga Beit Hanoun, “tapi kami tidak kehilangan keberanian.”


Suara Dunia: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Komunitas internasional menyambut gencatan senjata ini dengan hati-hati.
Sekjen PBB António Guterres menyebutnya “langkah kecil menuju kemanusiaan,” tapi menegaskan bahwa perdamaian sejati tak bisa tercapai tanpa keadilan.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyampaikan dukungan penuh terhadap upaya perdamaian dan bantuan kemanusiaan di Gaza.

“Gencatan senjata hanyalah jeda. Dunia harus memastikan penderitaan warga sipil tidak dimulai lagi setelah ini,” tulis pernyataan resmi Kemenlu RI (10/10).

Di sisi lain, analis Timur Tengah dari Carnegie Endowment, Maha Aziz, memperingatkan bahwa meskipun gencatan senjata menenangkan situasi, ketegangan politik di baliknya belum terselesaikan.

“Selama blokade belum dicabut dan kehidupan belum dipulihkan, Gaza tetap di ambang krisis kemanusiaan baru.”


Anak-Anak Gaza: Saksi Kecil Ketabahan

Di antara puing dan senja, anak-anak Gaza berlari di jalanan yang porak poranda.
Sebagian membawa layang-layang dari plastik sisa, sebagian lagi menulis di pasir dengan ranting pohon.
Mereka adalah saksi paling jujur dari perang — tak punya senjata, tak tahu politik, tapi mengerti arti kehilangan.

Menurut data UNICEF, lebih dari 16.000 anak kehilangan rumah, dan 3.000 di antaranya kehilangan salah satu atau kedua orang tua.
Meski begitu, banyak di antara mereka tetap bersekolah di kelas darurat yang dibuat dari terpal dan meja rusak.

“Anak-anak ini tumbuh dengan kata ‘kembali’ di kepala mereka,” kata juru bicara UNICEF.
“Mereka tidak berbicara tentang pergi, tapi pulang.”


Penutup: Gaza Pulang ke Dirinya Sendiri

Gencatan senjata ini mungkin hanya berlangsung sepekan.
Tapi bagi rakyat Gaza, setiap langkah kembali ke rumah adalah bentuk kemenangan.
Mereka tidak menunggu keamanan penuh, tidak menunggu janji dunia — mereka pulang karena itu satu-satunya hal yang mereka punya: tanah, kenangan, dan nama.

“Jika rumah kami hancur, kami akan kembali,” kata Wael dengan mata menatap reruntuhan.
“Karena di Gaza, bahkan puing pun bisa menjadi rumah.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *