China Melonjak Jadi Kreditur Utama Indonesia: Utang ke Beijing Catat Rekor, AS Tertinggal Besar
Utang luar negeri Indonesia kepada China tercatat mencapai US$ 24,69 miliar per Agustus 2025, melewati Amerika Serikat.
Proyek Infrastruktur dan Kerjasama: China selama ini dikenal aktif memberikan pembiayaan untuk proyek-proyek infrastruktur melalui mekanisme kerja sama bilateral atau melalui lembaga-lembaga keuangan yang berafiliasi dengan Beijing.
Reposisi Utang Global: Dengan melemahnya dominasi AS dan perubahan prioritas global, negara-negara seperti Indonesia mungkin merangkul lebih banyak pembiayaan dari Asia, termasuk China.
Meskipun demikian, BI dan pemerintah Indonesia mencatat bahwa tingginya angka bukan berarti tanpa risiko — risiko bagi stabilitas keuangan, nilai tukar, maupun hubungan bilateral menjadi perhatian.
Status Utang dari Amerika Serikat: Tertinggal
Sementara utang Indonesia kepada China mencatat rekor, artikel CNBC menyoroti bahwa porsi utang kepada Amerika Serikat tidak ikut melonjak — sebaliknya, relatif mengalami stagnasi atau bahkan menurun dibanding porsi China.
Hal ini menunjukkan perubahan dalam komposisi kreditur luar negeri Indonesia. Sebagai negara yang selama beberapa dekade dianggap sebagai salah satu sumber pembiayaan eksternal utama, posisi AS kini mulai kalah bersaing di beberapa aspek.
Perubahan ini bisa dipicu oleh kecepatan China dalam menawarkan pembiayaan, serta fleksibilitas dalam kerjasama bilateral yang mungkin lebih mudah dijalankan oleh negara-penerima.
Apa Respon Pemerintah dan Bank Indonesia?
Pihak pemerintah melalui BI menyatakan bahwa meskipun terjadi lonjakan utang ke China, kondisi utang luar negeri Indonesia secara umum masih terkendali dan berada dalam batas aman
Memperketat pemantauan tingkat risiko utang luar negeri terutama yang berasal dari sumber non-tradisional.
Mengkaji ulang skema pembiayaan yang dapat memperbesar beban fiskal di masa depan, seperti skema utang berjangka panjang atau pinjaman yang terikat proyek tertentu.
Meskipun utang bisa menjadi instrumen penting untuk pembiayaan pembangunan, ada sejumlah risiko signifikan yang menyertai peningkatan utang ke China:
Keterikatan geopolitik dan kesepakatan: Pinjaman bilateral sering disertai dengan persyaratan tertentu, yang bisa mempengaruhi kedaulatan ekonomi atau kebijakan nasional.
Pengembalian proyek: Banyak pinjaman proyek infrastruktur mengharapkan hasil produktivitas yang dapat menjamin pengembalian — jika proyek mengalami hambatan, pemerintah negara penerima bisa terbebani.
Konsentrasi kreditur: Ketergantungan pada satu pemberi pinjaman besar dapat meningkatkan risiko manuver terbatas dalam negosiasi masa depan.
BI dan pemerintah menyatakan awareness atas semua ini, dan menegaskan bahwa kedepan pengelolaan utang akan semakin memperhatikan aspek keberlanjutan dan risiko struktural.
Dampak Jangka Pendek dan Panjang
Jangka Pendek
Pemerintah mungkin akan lebih memperhatikan struktur pembiayaan: memilih pinjaman dengan jangka panjang, suku bunga tetap, atau sifat yang lebih aman.
Potensi peningkatan pengawasan oleh lembaga keuangan internasional dan rating agency karena perubahan profil utang.
Adanya kebutuhan untuk memperkuat ruang fiskal agar bisa menanggung beban pembayaran utang tanpa mengorbankan anggaran pembangunan.
Jangka Panjang
Perubahan dinamika antara Indonesia dan China bisa makin mendalam dalam bidang ekonomi, diplomasi, hingga keamanan.
Jika pengelolaan utang dilakukan dengan baik, bisa jadi momentum bagi percepatan pembangunan infrastruktur dan konektivitas internasional Indonesia.
Namun jika tidak dikelola secara hati-hati, bisa muncul risiko ‘ketergantungan utang’ yang menghambat kebijakan nasional atau mempersempit manuver masa depan pemerintah.
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia Sekarang?
Untuk menghadapi kondisi ini, Indonesia dapat menempuh beberapa langkah strategis:
Pastikan transparansi penuh dalam kontrak pinjaman: suku bunga, tenor, kondisi pembayaran, dan risiko tersembunyi.
Perkuat kapasitas pengelolaan utang: analisis proyek, evaluasi risiko, monitoring pembayaran, dan sistem pelaporan yang kuat.
Prioritaskan pembiayaan yang mendorong produktivitas ekonomi: infrastruktur yang memperkuat sektor unggulan, konektivitas regional, serta teknologi yang mendukung pertumbuhan jangka panjang.

