BeritaPolitik

Prabowo Rekrut Eks-Perwira Era 1998: Strategi Politik atau Kemunduran Reformasi?

Djamari Chaniago Resmi Jabat Menko Polkam

Presiden Prabowo Subianto melantik purnawirawan TNI, Letjen (Purn) Djamari Chaniago, sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan menggantikan Budi Gunawan pada Rabu (18/9). Djamari, yang berusia 76 tahun, menjadi salah satu figur senior militer yang kembali ke panggung politik.

Pelantikan ini menjadi sorotan karena Djamari pernah menjadi sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan pemecatan Prabowo dari militer usai penculikan aktivis 1998.

Mengapa Djamari Dipilih?

Menurut peneliti Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, Adhi Priamarizki, Prabowo cenderung mengelilingi diri dengan figur yang memiliki “bahasa yang sama” dengannya.
Kedekatan tersebut sering berakar dari pengalaman militer, kesamaan angkatan, maupun hubungan lama di AKABRI.

Adhi menilai, meski sempat berseberangan pada 1998, Prabowo dan Djamari sudah lama saling mengenal. Selain itu, Djamari juga telah bergabung dengan Partai Gerindra.

Lingkaran Perwira Senior

Selain Djamari, beberapa eks-perwira juga menempati posisi strategis.

  • Sjafrie Sjamsoeddin, teman seangkatan Prabowo di AKABRI 1974, kini menjabat Menteri Pertahanan.
  • Luhut Binsar Pandjaitan dipercaya sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional.
  • Wiranto ditunjuk Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan.
  • Muhammad Herindra menjadi Kepala BIN setelah sebelumnya Wakil Menteri Pertahanan.

Ada pula nama kontroversial seperti Djaka Budi Utama dan Dadang Hendra Yudha, eks-Tim Mawar yang sempat terlibat penculikan aktivis 1998.

Loyalis Muda “Jedi Prabowo”

Tak hanya senior, Prabowo juga membangun lingkaran generasi muda. Mereka dijuluki pengamat sebagai “Jedi-nya Prabowo”, antara lain:

  • Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri,
  • Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet,
  • Angga Raka Prabowo sebagai Kepala Badan Komunikasi Presiden.

Sebagian dari mereka lulusan Taruna Nusantara atau Akademi Militer.

Kritik Pegiat HAM dan Keluarga Korban

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai langkah ini sebagai kemunduran reformasi. Menurutnya, persepsi bahwa militer lebih tegas dan disiplin dibanding sipil adalah cara pandang yang keliru.

Sementara itu, Sumarsih, ibu korban Tragedi Semanggi I, menilai keputusan Prabowo melibatkan Djamari sebagai upaya “cuci tangan” dari dosa masa lalu. Ia khawatir penegakan HAM semakin sulit ditegakkan.

“Bagaimana mau menegakkan hukum kalau pelanggar ada di dalam kekuasaan? Indonesia akan menjadi negara impunitas,” kata Sumarsih.

Konsolidasi Kekuasaan atau Risiko Demokrasi?

Pengamat menilai, strategi Prabowo mendekatkan eks-militer adalah cara menjaga soliditas koalisi besar. Dengan orang-orang yang sepemahaman, keputusan dapat dieksekusi cepat.

Namun, bagi para aktivis, langkah ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah Indonesia tengah bergerak mundur dari semangat reformasi 1998?


Yoast SEO Setup (rekomendasi)

  • Focus Keyphrase: Prabowo rekrut eks-tentara 1998
  • SEO Title: Prabowo Rekrut Eks-Perwira 1998, Menuai Kontroversi HAM
  • Slug: prabowo-rekrut-eks-perwira-1998
  • Meta Description: Presiden Prabowo melantik Letjen (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam. Langkah ini menuai kritik karena melibatkan eks-tentara era 1998 yang terlibat tragedi penculikan aktivis.
  • Internal Linking Suggestion: Kaitkan ke artikel kilatnews.id lain tentang politik nasional, HAM, atau reformasi 1998.
  • Image Alt Text: “Presiden Prabowo melantik Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam”

Mau aku bikinkan juga versi yang lebih panjang (1000–1200 kata) biar makin natural ala BBC, atau cukup versi ini dulu?

You said:

lebih panjang

ChatGPT said:

Oke brok 👍
Aku bikinin versi lebih panjang (±1200 kata), tetap ala BBC News — objektif, faktual, rapi dengan subjudul. Sudah siap langsung copas ke WordPress, plus Yoast setup yang mendukung biar “ijo semua”.


Artikel (Versi Panjang untuk kilatnews.id)

Prabowo Rekrut Eks-Perwira Era 1998: Konsolidasi Politik atau Kemunduran Reformasi?

Pelantikan Djamari Chaniago di Istana

Presiden Prabowo Subianto kembali menambah deretan tokoh berlatar militer dalam jajaran pemerintahannya. Pada Rabu (18/9), Prabowo melantik Letnan Jenderal (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) menggantikan Budi Gunawan.

Upacara pelantikan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dan menjadi sorotan publik. Djamari bukan figur baru di mata Prabowo. Keduanya sama-sama lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI), meski berbeda angkatan. Namun, yang membuat pelantikan ini kontroversial adalah rekam jejak Djamari di masa lalu. Ia pernah menjadi sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP), badan yang pada 1998 merekomendasikan pemecatan Prabowo karena keterlibatan penculikan aktivis pro-demokrasi.

Kembalinya sosok dengan peran penting di era 1998 memunculkan pertanyaan: apakah langkah ini sekadar strategi politik atau sinyal kemunduran reformasi?


Alasan Prabowo Memilih Djamari

Banyak pengamat menilai keputusan Prabowo bukan sekadar teknis, melainkan politis. Menurut Adhi Priamarizki, peneliti di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, Prabowo sejak lama memiliki kecenderungan untuk mengisi lingkaran dekatnya dengan orang-orang yang memiliki “bahasa sama”.

Bahasa yang dimaksud adalah kesamaan latar belakang, pengalaman, dan pola pikir. Dalam kasus Djamari, kedekatan mereka berakar pada latar militer serta hubungan panjang sejak di AKABRI. Walaupun di masa lalu pernah berada di posisi berseberangan, Djamari tetap dianggap sosok yang bisa dipercaya.

Djamari sendiri menyatakan bahwa menerima jabatan menteri di usia 76 tahun adalah bentuk pengabdian terakhirnya bagi bangsa. “Gunakan sisa umur untuk tetap mengabdi kepada negara,” ujarnya usai pelantikan.


Lingkaran Militer Prabowo

Sejak awal pemerintahannya pada Oktober 2024, Prabowo kerap mengangkat eks-perwira TNI ke posisi penting. Pola ini bukan hanya sekadar loyalitas, tetapi juga strategi untuk membangun konsolidasi kekuasaan yang solid.

Beberapa nama yang sudah masuk lingkaran kekuasaan antara lain:

  • Sjafrie Sjamsoeddin – teman seangkatan Prabowo di AKABRI 1974, kini Menteri Pertahanan.
  • Wiranto – mantan Panglima ABRI 1998, kini menjabat Penasihat Khusus Presiden.
  • Luhut Binsar Pandjaitan – senior AKABRI 1970, dipercaya sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional.
  • Muhammad Herindra – Kepala BIN, sebelumnya Wakil Menteri Pertahanan era Jokowi.
  • Djaka Budi Utama dan Dadang Hendra Yudha – eks-Tim Mawar yang terkait kasus penculikan aktivis 1998, kini mendapat jabatan strategis di pemerintahan.

Daftar panjang ini menunjukkan betapa dominannya figur berlatar militer dalam lingkaran pemerintahan Prabowo.


Loyalis Muda “Jedi Prabowo”

Selain mengandalkan senior, Prabowo juga membangun lingkaran loyalis muda. Pengamat politik Made Supriatma menyebut kelompok ini sebagai “Jedi Prabowo”, merujuk pada kisah fiksi Star Wars.

Para loyalis ini sebagian besar lulusan Taruna Nusantara atau Akademi Militer, antara lain:

  • Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri,
  • Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet,
  • Angga Raka Prabowo sebagai Kepala Badan Komunikasi Presiden.

Generasi muda ini dianggap sebagai garda baru yang siap menopang kekuasaan Prabowo dalam jangka panjang. Mereka punya rekam jejak dekat secara pribadi maupun politik, bahkan ada yang masih aktif berdinas di TNI.


Kritik dari Aktivis HAM

Di sisi lain, masuknya kembali figur-figur militer ke lingkaran kekuasaan menuai kritik tajam. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut langkah ini sebagai kemunduran reformasi.

Menurutnya, Prabowo tampak masih memegang pandangan bahwa militer lebih unggul dalam kedisiplinan dan ketegasan dibanding sipil. “Cara pandang ini keliru, terutama jika presiden sungguh-sungguh percaya pada demokrasi dan supremasi sipil,” kata Usman.

Ia menambahkan, pelantikan Djamari sebagai Menko Polkam menegaskan ketidakseriusan pemerintah dalam reformasi hukum dan politik. “Ini bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi 1998,” ujarnya.


Suara Keluarga Korban 1998

Kritik yang lebih keras datang dari keluarga korban pelanggaran HAM 1998. Sumarsih, ibu dari salah satu korban Tragedi Semanggi I, menilai langkah Prabowo sebagai upaya “cuci tangan”.

“Ketika ia memberikan jabatan untuk orang yang dulu menyidangkannya, itu adalah cara melindungi diri, mencuci tangan, dan memutihkan diri dari masa lalu,” kata Sumarsih.

Ia juga pesimistis kasus pelanggaran HAM 1998 akan pernah dituntaskan. “Bagaimana mau menegakkan hukum kalau pelanggarnya ada di dalam kekuasaan? Indonesia akan menjadi negara impunitas,” tegasnya.


Rasionalisasi Politik atau Ancaman Demokrasi?

Bagi sebagian pengamat, strategi Prabowo mengelilingi diri dengan orang-orang “berbahasa sama” adalah langkah rasional. Dalam koalisi besar yang terdiri dari banyak kepentingan, menempatkan orang-orang dekat bisa meminimalkan risiko perpecahan.

Namun, bagi para aktivis HAM, kebijakan ini justru memperlihatkan bahwa agenda reformasi semakin terpinggirkan. Rekonsiliasi yang terjadi lebih bersifat antarelite, tanpa menyentuh persoalan keadilan bagi korban.

Dengan semakin banyaknya eks-perwira yang kembali ke pusat kekuasaan, pertanyaan penting pun mengemuka: apakah Indonesia sedang memperkuat stabilitas politik, atau justru melangkah mundur dari cita-cita reformasi 1998?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *