Paus Pembunuh Palsu Terdampar di Penghu, Taiwan: Tragedi Langka yang Buka Pintu Penelitian Laut Dalam
Taipei, 29 Oktober 2025 — Di pantai utara Pulau Jibei, Kabupaten Penghu, Taiwan, sebuah bangkai raksasa terdampar di pasir basah, meninggalkan jejak air asin dan misteri laut yang dalam. Seekor paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), spesies langka yang jarang terlihat di permukaan, ditemukan mati pagi Rabu (29/10), dengan panjang 4,5 meter dan berat lebih dari 1 ton. Penemuan ini, yang dilaporkan oleh petugas keamanan saat patroli pukul 08.30 waktu setempat, bukan sekadar berita duka untuk pecinta satwa laut—ia adalah kesempatan emas bagi para ilmuwan untuk mengungkap rahasia patogen, migrasi, dan ancaman lingkungan yang mengancam mamalia laut di Asia Tenggara. Bagi nelayan di Penghu, pulau nelayan yang dikenal sebagai “Hawaii-nya Taiwan,” ini pengingat pilu: laut yang memberi rezeki juga bisa ambil nyawa tanpa ampun, dan manusia punya tanggung jawab untuk jaga ekosistem yang rapuh.
Insiden ini dimulai dengan rutinitas patroli pagi di pantai Jibei, pulau kecil di kepulauan Penghu yang terletak 40 km dari daratan utama Taiwan. Petugas pos keamanan, yang biasa pantau nelayan atau sampah plastik, terkejut melihat bangkai paus terdampar di pasir pesisir. Panik, mereka segera hubungi Biro Pertanian dan Perikanan Penghu, yang kirim tim untuk identifikasi. “Kami tutup bangkai dengan terpal dan kantong sampah besar untuk cegah bau dan ganggu wisatawan,” kata juru bicara biro, seperti dikutip Focus Taiwan. Tim Taiwan Cetacean Society (TCS), organisasi nirlaba yang pantau mamalia laut, buru-buru datang dan konfirmasi: ini paus pembunuh palsu, spesies odontoceti (paus bergigi) yang mirip orca tapi lebih kecil dan kurang agresif. Panjang 4,5 meter dan berat 1.000 kg lebih menunjukkan ini paus dewasa, kemungkinan betina, tapi usia dan jenis kelamin pasti baru diketahui setelah autopsi sore itu.
Paus pembunuh palsu bukan spesies langka secara global—mereka ada di samudra tropis dan subtropis, termasuk perairan Penghu, Yilan, dan Pingtung di Taiwan. TCS bilang, paus ini sering berenang bareng lumba-lumba hidung botol, tapi terdampar seperti ini jarang: cuma 5 kasus per tahun di Taiwan (data 2020-2024). Penyebab kematian belum jelas—mungkin tersesat, sakit, atau terkena kapal nelayan. “Kematiannya nggak lama, jadi nilai penelitiannya tinggi: kita bisa ambil sampel untuk analisis patogen atau racun,” kata pakar TCS. Autopsi sore itu bakal ungkap apa yang bikin paus ini terdampar: infeksi, polusi plastik, atau perubahan iklim yang bikin migrasi terganggu.
Buat warga Penghu, yang hidup dari nelayan dan wisata, penemuan ini campur aduk. “Paus itu tanda laut lagi sakit,” kata Pak Li (55), nelayan di Jibei, sambil pandang laut yang tenang. Penghu, dengan 64 pulau dan 100.000 penduduk, bergantung laut untuk 70% ekonomi (data Biro Pertanian 2024). Paus terdampar sering jadi tanda buruk: plastik laut, jaring nelayan, atau suhu air naik yang bikin ikan pindah. TCS catat 2024: 12 mamalia laut terdampar di Taiwan, naik 20% dari 2023—mungkin akibat El Niño yang ganggu pola migrasi. Buat anak muda seperti Mei (22), mahasiswi di Penghu, ini panggilan: “Kami harus kurangi plastik, supaya laut nggak ambil nyawa lagi.”
Di Indonesia, cerita ini relate banget. Laut kita kaya mamalia: paus biru di Selat Makassar, dugong di Raja Ampat. Tapi, terdampar sering terjadi: 15 kasus di Bali 2024 (BKSDA), sebagian karena polusi atau kapal. Kasus paus sperma di Wakatobi 2023 (CNN Indonesia, 2023) bikin heboh, tapi autopsi bukti plastik di perutnya 8 kg. Ini pengingat: laut Asia Tenggara terhubung, ancaman sama—plastik 11 juta ton/tahun (Ocean Cleanup 2024), ganggu migrasi paus. Penghu, dengan nelayan 20.000 orang (Biro Pertanian), mirip NTT atau Sulsel di Indonesia: rezeki dari laut, tapi juga bahaya.
Autopsi paus Penghu bakal ungkap banyak: patogen seperti morbillivirus (penyakit paus), atau racun dari run off pertanian. TCS harap sampel bantu riset global soal “white killer whale syndrome”—penyakit paus yang naik 15% di Pasifik (NOAA 2024). Buat nelayan Penghu, ini edukasi: kurangi jaring hantu, dukung konservasi. Seperti kata Pak Li: “Paus datang, laut kasih rezeki. Kalau mati, kita yang salah.”
📌 Sumber: Focus Taiwan, Taiwan Cetacean Society, CNN Indonesia, NOAA, Ocean Cleanup, diolah oleh tim tentangrakyat.id.
